Manado  

Pencemaran Logam Berat di Laut Sangihe Ancam Ekosistem, Kesehatan dan Ekonomi Warga

Istimewa

NPM, Sangihe – Pencemaran logam berat di perairan Kepulauan Sangihe kini menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat.

Hasil penelitian terbaru dari Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia mengungkap adanya peningkatan signifikan kadar logam berat seperti arsen (As), timbal (Pb), dan merkuri (Hg) di wilayah tersebut.

Kepulauan Sangihe merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Penting Secara Ekologis dan Biologis (EBSAs).

Namun, aktivitas pertambangan emas yang masif dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.

Penelitian yang dilakukan di perairan Teluk Binebas menemukan kadar arsen mencapai 0,0228 mg/L, jauh melebihi baku mutu nasional sebesar 0,012 mg/L. Kadar timbal juga tercatat mencapai 0,0126 mg/L, di atas batas aman 0,008 mg/L.

Tak hanya mencemari air laut, logam berat juga ditemukan pada ikan konsumsi lokal seperti ikan layang, yang menjadi sumber protein utama masyarakat Sangihe.

Kandungan merkuri dan senyawa turunannya yang bersifat neurotoksik dinilai sangat berbahaya, terutama bagi janin dan anak-anak.

“Paparan merkuri harian pada balita akibat konsumsi ikan lokal dapat melebihi batas aman hingga empat kali lipat,” ujar Prof Dr Ir Frans G Ijong MSc, peneliti Polnustar, Rabu (01/10/2025).

Alih fungsi lahan untuk pertambangan emas di Sangihe meningkat hingga 45,53% antara 2015 hingga 2021. Pembukaan lahan di wilayah perbukitan mempercepat proses runoff material berbahaya ke laut.

Akibatnya, terjadi kerusakan vegetasi mangrove serta pemutihan terumbu karang (coral bleaching).

Penurunan kualitas lingkungan laut berdampak langsung pada ekonomi masyarakat pesisir.

Berdasarkan laporan EcoNusa dan PKSPL IPB, hasil tangkapan ikan nelayan turun hingga 69,04%, khususnya untuk komoditas seperti cakalang, bobara, baronang, dan kakap merah.

“Pendapatan nelayan anjlok rata-rata 27,3%. Di sisi lain, pekerja tambang sebagian besar bekerja tanpa kontrak dan perlindungan hukum,” lanjut Prof Ijong.

Aktivitas tambang di Sangihe juga disorot karena diduga melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang secara tegas melarang pertambangan di pulau kecil.

Luas wilayah Sangihe yang berada di bawah ambang batas pulau kecil, memperkuat argumen pelanggaran hukum oleh pelaku industri pertambangan.

Berdasarkan temuan ini, Polnustar dan Greenpeace Indonesia mengajukan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah :

– Menghentikan seluruh aktivitas pertambangan emas di Sangihe.

– Moratorium penerbitan izin tambang baru di wilayah kepulauan.

– Rehabilitasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang.

– Pemeriksaan kesehatan berkala, terutama bagi anak-anak di sekitar tambang.

– Menetapkan Sangihe sebagai kawasan perlindungan darat dan laut.

“Sangihe adalah kawasan ekologis yang unik dan tak tergantikan. Kerusakan lingkungan demi keuntungan jangka pendek akan merugikan masa depan generasi mendatang,” tegas Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.

Kondisi pencemaran logam berat di Laut Sangihe menjadi alarm keras bagi pemerintah dan publik.

Jika tidak segera ditindaklanjuti, dampaknya bisa berujung pada kehancuran permanen ekosistem laut, penurunan kualitas hidup masyarakat, serta hilangnya mata pencaharian nelayan lokal. (dio)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *