Perpuluhan dan Perpajakan

NPM, Manado – Berbicara mengenai perpajakan dalam sudut pandang agama Kristen sudah jelas bahwa ajaran Kristen sangat mendukung bahkan mengajarkan untuk membayar pajak.

Salah satu ayat yang terkenal dalam Alkitab, yaitu yang terdapat dalam Kitab Matius pasal 22 ayat 16-21, di mana, saat itu Yesus ditanya oleh orang Farisi dan orang Herodian, mengenai apakah diperbolehkan untuk membayar pajak kepada Kaisar atau tidak (ayat 17).

Saat itu Yesus berkata untuk menunjukan kepadaNya mata uang yang digunakan untuk membayar pajak dan mereka memberikan satu dinar kepadaNya (ayat 19).

Kemudian Yesus bertanya kepada orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian “gambar dan tulisan siapakah yang ada dalam mata uang tersebut?” (ayat 20) dan mereka menjawab bahwa itu adalah gambar dan tulisan Kaisar.

Lalu setelah itu Yesus berkata kepada mereka “berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (ayat 21).

Melalui ayat tersebut mengajarkan kepada umat dan jemaat untuk taat dan bertanggung jawab bukan saja untuk menjalankan kewajiban kepada Tuhan namun juga kepada pemerintah dan negara.

Di sisi lain, selain berbicara mengenai perpajakan, dalam ajaran Kekristenan juga dikenal yang namanya persembahan, di mana umumnya hal ini merupakan sebuah kewajiban oleh umat dan jemaat untuk diberikan, bukan saja kepada gereja sebagai institusi namun juga kepada pemimpin atau tokoh-tokoh agama, seperti pendeta dan pastor secara pribadi.

Persembahan-persembahan ini biasanya berbeda-beda penyebutannya tergantung dari tiap – tiap denominasi gereja.

Namun pada kesempatan kali ini penulis ingin mengangkat persembahan umat dan jemaat yang disebutkan dengan nama persembahan perpuluhan atau persepuluhan.

Persembahan perpuluhan dari sudut pandang sejarah, sebagaimana yang disebutkan dalam Alkitab, bahwa Tuhan pertama kali memberi tahu kepada bangsa Israel melalui Musa untuk memberikan persembahan perpuluhan.

Di mana persembahan perpuluhan ini harus dibawa ke Bait Allah dan diberikan kepada suku Lewi untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka yaitu pekerjaan pada Kemah Pertemuan (Bilangan 18 : 21).

Sebagaimana diketahui dalam sejarah bangsa Israel, setelah bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan kembali ke tanah yang dijanjikan oleh Tuhan, dari Kedua Belas keturunan Israel (Yakub), Tuhan memilih dan mengkhususkan satu suku yaitu Lewi yang diberikan tugas untuk menjaga dan mengawasi Kemah Suci atau Bait Allah (Bilangan 1 : 47 – 50).

Pada zaman itu persembahan perpuluhan
berasal dari hasil panen dan hasil ternak yang dihasilkan dan di miliki oleh suku-suku Israel.

Pada zaman modern saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa persembahan perpuluhan telah menjadi polemik di dalam gereja karena ada yang berpendapat bahwa konsep persembahan perpuluhan dikhususkan hanya bagi umat Israel pada zaman itu.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa persembahan perpuluhan saat ini masih relevan dan merupakan kewajiban umat dan jemaat sebagai salah satu wujud ekspresi dari umat dan jemaat mengasihi Tuhan.

Hal ini terlihat dari penerapan persembahan perpuluhan yang berbeda-beda tergantung pada denominasi dan aliran gereja.

Melihat dari sudut pandang perpajakan, mengingat banyak umat dan jemaat, terutama umat dan jemaat yang gerejanya masih menerapkan persembahan perpuluhan, yang mempertanyakan, apakah persembahan perpuluhan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan pajak penghasilan sebagaimana dengan zakat.

Untuk menjawab dan meresponi pertanyaan tersebut kita harus melihat dari dasar hukum dan ketentuan yang ada.

Ketentuan mengenai pemberian zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh Lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, Pasal 9 ayat (1) huruf g.

Dan untuk beberapa peraturan pelaksanaannya diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010
tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran Atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Dalam peraturan pelaksanaan tersebut mengatur persyaratan-persyaratan yang harus terpenuhi agar pembayaran zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak dapat diakui dan dapat dijadikan sebagai pengurang dari penghasilan bruto, diantaranya bahwa zakat tersebut harus dibayarkan melalui Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang.

Untuk pemeluk agama lain selain agama Islam, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib, dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Selain itu pemberian zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan disertai bukti-bukti yang sah.

Mengenai pemberian sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lain selain agama Islam, di mana pemberiannya wajib melalui Lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-3/PJ/2025 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2022 tentang Badan atau Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto menetapkan Lembaga Penerima
dan Pengelola Sumbangan Keagamaan Kristen adalah Yayasan Kasih Philadelphia Indonesia, Yayasan Sumbangan Sosial Keagamaan Kristen Indonesia dan Yayasan Kasih Persaudaraan Bangsa.

Sedangkan Lembaga Penerima Sumbangan Keagamaan Katolik adalah Badan Amal
Kasih Katolik (BAKKAT).

Melihat aturan dan ketentuan yang ada, tidak disebutkan secara spesifik bahwa pemberian persembahan perpuluhan bagi umat Kristen maupun umat Katolik dapat dijadikan
sebagai pengurang penghasilan bruto, sebagaimana dengan pembayaran zakat yang
merupakan kewajiban bagi umat Islam yang dengan jelas disebutkan dalam ketentuan tersebut.

Selain itu harus diingat dan menjadi perhatian bagi umat Kristen dan Katolik bahwa untuk sumbangan keagamaan yang bersifat wajib yang telah diberikan agar dapat jadikan sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto dalam menghitung pajak penghasilan, sumbangan keagamaan tersebut wajib diberikan melalui lembaga-lembaga keagamaan tertentu yang telah ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas.

Menurut pendapat penulis, mengapa persembahan perpuluhan oleh umat dan jemaat tidak atau belum dapat menjadi salah satu kategori sumbangan keagamaan wajib yang dapat dijadikan sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto dalam menghitung pajak penghasilan karena disebabkan oleh fenomena yang ada, bahwa dalam gereja dewasa ini pemberian persembahan perpuluhan itu sendiri masih menjadi polemik mengenai penerapannya dan belum terdapat kesepahaman bersama antar denominasi gereja.

Selain itu, sebagaimana yang dipahami oleh umat dan jemaat, bahwa pemberian persembahan perpuluhan umumnya diberikan ke gereja atau kepada tokoh atau pemimpin gereja secara pribadi dan secara langsung, sehingga belum dapat dirumuskan untuk keberadaan bukti-bukti yang sah sebagai salah satu pendukung pemberian sumbangan keagamaan yang wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Namun demikian yang terpenting dari kesemuanya itu adalah sebagai umat dan jemaat Kristen dan Katolik tetap melakukan kewajiban kita sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui pemberian persembahan sesuai dengan yang diajarkan kitab suci dan pengabdian kita kepada negara sebagai warga negara melalui pembayaran pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. (Heince Pangalila)

Heince Verly Pangalila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *