Eksekusi Lahan dan Dampak Sosial Ekonomi, Menimbang Keadilan Dalam Praktik Hukum

Penulis : Serlen Elisabeth Panekenan, SH

Mahasiswa Prodi Magister Hukum UNIMA

Eksekusi lahan di Desa Tumpaan Baru, Kecamatan Tumpaan, Kabupaten Minahasa Selatan, merupakan peristiwa hukum yang tidak hanya berdampak secara yuridis, tetapi juga mengguncang struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Meskipun dilandasi oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pelaksanaannya memunculkan dinamika sosial yang kompleks—mulai dari penolakan warga, konflik internal, hingga krisis kepercayaan terhadap institusi hukum.

Pun dalam perspektif sosiologi hukum, pelaksanaan hukum tidak cukup dinilai dari legalitas formal, tetapi juga dari sejauh mana hukum mampu menjaga harmoni sosial dan keadilan substantif.

Kehilangan aset dan sumber penghidupantanah bagi masyarakat desa bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol identitas, warisan, dan keberlangsungan hidup. Eksekusi lahan menyebabkan sebagian warga kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian, dan sumber pendapatan utama yang dampaknya meliputi ;

Penurunan Kesejahteraan Keluarga,Meningkatnya Pengangguran Lokal Ketergantungan Terhadap Bantuan Sosial

Menurut Roscoe Pound, hukum idealnya menyeimbangkan kepentingan individu dan sosial. Namun dalam kasus ini, penegakan hukum formal justru menimbulkan kerugian sosial yang signifikan. Retaknya Solidaritas Sosial Eksekusi lahan memicu konflik horizontal antar warga, terutama antara pihak yang mendukung dan menolak pelaksanaan hukum. Ketegangan inipun merusak solidaritas komunitas dan menciptakan disintegrasi sosial.

Émile Durkheim, menekankan bahwa hukum berfungsi menjaga solidaritas. Ketika hukum menjadi sumber perpecahan, maka terjadi disfungsi hukum yang mengancam kohesi sosial.

Kesenjangan dan Marginalisasi kelompok yang kalah dalam sengketa lahan sering kali terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Dan mereka kehilangan akses terhadap sumber daya, sementara pihak yang menang semakin dominan.

Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa hukum seharusnya berpihak pada yang lemah. Ketika hukum hanya melayani kepentingan yang kuat, maka terjadi ketimpangan struktural yang memperlebar jurang sosial.

Krisis kepercayaan terhadap hukum dan Pemerintah banyak warga merasa bahwa eksekusi lahan tidak mencerminkan keadilan substantif. Mereka menilai proses hukum berpihak pada kelompok tertentu, sehingga muncul ; Keterasingan masyarakat dari sistem hukum (“legal alienation”)

Penurunan legitimasi hukum menurut teori Max Weber, melemahnya kepercayaan terhadap institusi pemerintah.

Analisis sosiologis pelaksanaan eksekusi lahan menunjukkan ketidakseimbangan antara hukum normatif dan realitas sosial. Pengadilan Negeri Amurang memang berkewajiban menjalankan putusan hukum, namun pelaksanaannya harus mempertimbangkan ;

nilai-nilai sosial lokal rasa keadilan masyarakat harmoni dan keberlanjutan komunitas. Pendekatan sosiologi hukum progresif menekankan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan semata, melainkan sarana untuk menciptakan keadilan sosial.

Kesimpulan dari eksekusi lahan di Desa Tumpaan Baru adalah cerminan nyata dari tantangan dalam menyeimbangkan hukum formal dan keadilan sosial. Pengadilan memang memiliki kewajiban yuridis, namun pelaksanaan hukum harus berlandaskan pada nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.

Diperlukan pendekatan sosiologi hukum yang lebih empatik dan kontekstual agar hukum tidak hanya sah secara normatif, tetapi juga diterima secara sosial. Hukum yang berpihak pada keadilan sosial akan menjadi fondasi bagi masyarakat yang sejahtera, harmonis, dan berdaya.

 

(Rogam)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *