Sulut  

Kalah Suara Bisa Raih Kursi, Liando: Karena Sistem Proporsional

Ferry Daud Liando. (foto: dok)

NPM, Manado – Demokrasi elektoral yang dianut bangsa Indonesia memiliki keunikan yang berbeda dengan negara lain.

Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat, Ferry Daud Liando mengatakan, Demokrasi sering dimaknai dengan kedaulatan rakyat.

“Calon yang terpilih bukan hanya sekedar dikehendaki rakyat, tapi juga yang paling dikehendaki rakyat,” ujarnya, Senin (26/2/2024).

Oleh karena itu, kata Liando, demokrasi sering diasosiasikan dengan pemilihan umum.

Pemilih dapat memilih calon secara langsung tanpa perantara dan calon yang memiliki suara terbanyak ditetapkan pada jabatan hasil pilihan rakyat.

Namun demikian sistem pemilu di Indonesia memiliki keunikan lain. “Calon legislatif yang memperoleh suara lebih rendah dapat berhak atas kursi daripada caleg yang memperoleh suara lebih tinggi,” terang dia.

Misalkan parpol pisang berdasarkan hasil pembagian kursi mendapat kuota tiga kursi. Maka caleg dengan perolehan suara tiga terbanyak di parpol pisang dapat ditetapkan sebagai pemilik kursi.

Katakanlah peraih suara terbanyak si Tole sebesar 100.000 suara, Si Opo mendapat 80.000 suara, Si Utu mendapat 70.000 suara, Si Polin 65.000 Suara.

Karena si tole, si Opo dan si Utu memperoleh suara tiga besar terbanyak maka mereka berhak atas 3 kursi milik partai pisang.

Kemudian partai yang lain yakni durian kebagian kuota 1 kursi. Maka caleg yang berhak untuk kursi itu adalah caleg yang memiliki suara terbanyak di partai durian.

Di partai durian, caleg yang memiliki suara terbanyak mendapatkan 50.000 suara. Karena pemilik suara terbanyak maka berhak atas kursi itu.

Jika melihat perolehan suara di partai pisang, ada caleg yang meraih suara 65.000. Tapi tidak berhak atas 1 kursi. Di partai durian, caleg yang meraih suara 50.000 berhak atas kursi.

“Secara matematis nilai suara 65.000 jauh lebih besar ketimbang 50.000 suara. Tapi yang berhak atas 1 kursi adalah peraih suara 50.000,” jelas Liando.

Mengapa hal ini terjadi? Sistem pemilu kita menggunakan sistim proporsional terbuka. Sistem ini berlawanan dengan sistem distrik.

Sistem distrik menganut prinsip The Winner Take All. Sistem distrik berlaku bahwa parpol pemenang dalam suatu distrik berhak atas semua kursi yang tersedia di distrik itu.

Kalau sistem proporsional menganut prinsip perimbangan. Artinya, parpol pemenang tidak serta merta mengambil semua kursi yang tersedia di dapil, namun dibagi secara berimbang dengan parpol lain.

“Hasil pemilu nanti pasti akan banyak caleg yang akan kecewa, karena memperoleh suara lebih besar tapi kursi menjadi hak caleg di parpol lain yang suaranya lebih kecil,” tuntasnya. (don)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *