NPM, Manado – Pemilihan pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tahun 2025 yang digelar di Ruang Mapalus, Kantor Gubernur Sulut, Senin (26/05/2025), menuai sorotan tajam dari sejumlah kepala sekolah.
Proses pemilihan tersebut dinilai tidak melibatkan semua pihak dan diduga menyimpang dari mekanisme organisasi yang telah disepakati sebelumnya.
Beberapa kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya menyatakan kekecewaannya terhadap jalannya proses pemilihan.
Mereka menilai bahwa pemilihan seharusnya dilakukan secara demokratis, transparan, serta jujur dan adil (Jurdil).
“Bagaimana pendidikan bisa maju dan berkelanjutan jika dalam organisasi kepala sekolah saja proses pemilihan pengurus tidak dilakukan secara terbuka dan terkesan diintervensi ada apa,” ungkap salah satu kepala sekolah dengan nada kecewa.
Isu adanya intervensi pun mencuat kepermukaan.
Kepala Bidang Pembinaan SMA Dinas Pendidikan Daerah (Dikda) Sulut Dr Sri Ratna Pasiak MPd saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, membantah adanya intervensi dalam proses pemilihan tersebut.
“Saya tidak mengintervensi pemilihan. Kehadiran saya hanya sebagai pendamping dalam kapasitas sebagai Kabid Pembinaan SMA,” katanya, Rabu (28/05/2025).
Pemilihan sepenuhnya dilakukan oleh MKKS, dan dihadiri oleh 13 Ketua MKKS kabupaten/kota, kecuali Sitaro dan Talaud.
Pasiak menambahkan bahwa dirinya hanya memberikan saran apabila diminta, termasuk usulan agar pengurus baru dapat mengakomodasi kepala sekolah lain di luar ketua MKKS kabupaten/kota.
Ketua MKKS SMA Provinsi Sulut Drs Anthon J Rosang MM, menyatakan kepengurusan saat ini sejatinya masih berlaku hingga Juli 2025.
Hal ini berdasarkan hasil rapat MKKS yang digelar di SMAN 1 Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) tahun 2023.
“Sesuai anggaran dasar (AD) organisasi, pemilihan Ketua MKKS dilakukan oleh para Ketua MKKS kabupaten/kota dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani bersama,” jelas Rosang.
Namun demikian, Anthon Rosang telah mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah karena alasan kesehatan dan fokus menjalani pengobatan.
Kondisi ini secara otomatis membuatnya tidak lagi memenuhi syarat sebagai Ketua MKKS SMA Sulut karena salah satu syarat utama adalah harus aktif menjabat sebagai kepala sekolah.
Di tengah polemik, muncul informasi bahwa sejumlah kepala sekolah tengah merancang pembentukan kepengurusan tandingan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan Ketua MKKS.
Wacana ini dikhawatirkan dapat memicu dualisme dalam tubuh MKKS SMA Provinsi Sulawesi Utara, yang pada akhirnya dapat mengganggu soliditas organisasi dan upaya peningkatan mutu pendidikan.
Pastinya, situasi ini memperlihatkan pentingnya keterbukaan dan kepatuhan terhadap mekanisme organisasi dalam setiap proses pemilihan.
Sebab, MKKS sebagai wadah koordinasi antar kepala sekolah seharusnya menjadi contoh praktik demokrasi dan etika kepemimpinan yang baik di lingkungan pendidikan. (dio)