NPM, Sangihe – Di tengah maraknya kontestasi politik yang sering kali diwarnai praktik transaksional, sebuah pelajaran berharga justru datang dari ruang paling sederhana: pemilihan Ketua RT dan RW di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Di 22 kelurahan yang tersebar di tiga kecamatan—Tahuna, Tahuna Timur, dan Tahuna Barat—warga melaksanakan pemilihan Ketua RT dan RW dengan cara yang benar-benar demokratis.
Tidak ada spanduk besar, tidak ada sorak-sorai tim sukses, bahkan tidak ada uang yang berpindah tangan. Semuanya berjalan alami, jujur, dan hangat.
Saya sendiri berkesempatan menjadi bagian dari proses ini sebagai pemilih di salah satu RW dan RT di Kelurahan Tona II, Kecamatan Tahuna Timur.
Dari balik meja sederhana dan bilik suara yang terbuat dari kardus seadanya, saya melihat wajah demokrasi yang sesungguhnya: warga datang bergiliran, mencatat nama, menerima kertas suara, lalu menyalurkan pilihannya dengan tenang. Tak ada ketegangan, tak ada rasa curiga.
Yang terdengar justru tawa ringan dan obrolan santai antarwarga. Pemilihan berlangsung seperti sebuah pertemuan keluarga besar—ramai tapi penuh rasa saling menghormati.
“Yang penting siapa pun yang terpilih, bisa kerja baik dan tetap dekat dengan warga,” ujar seorang ibu rumah tangga yang duduk di bangku panjang sambil menunggu gilirannya memilih. Kalimat sederhana, tapi sarat makna: inilah politik tanpa ambisi kekuasaan.
Menariknya, tak satu pun warga yang datang karena ajakan atau tekanan. Mereka hadir atas kesadaran sendiri, merasa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Di sinilah demokrasi terasa paling tulus lahir dari keikhlasan, bukan kepentingan.
Lantas, muncul pertanyaan yang menggugah: mengapa dalam pemilihan yang lebih besar seperti Pileg, Pilkada, bahkan Pilpres, suasana seperti ini sulit ditemukan?
Mengapa pesta demokrasi yang mestinya menjadi ajang persatuan justru sering kali berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan berbagai cara?
Mungkin, para politisi perlu belajar dari pemilihan “raja paling kecil” ini. Belajar tentang kesederhanaan, tentang keikhlasan, dan tentang bagaimana rakyat bisa menjalankan demokrasi dengan cara yang lebih bermartabat.
Dari sebuah kelurahan kecil di Tahuna Timur, kita disadarkan bahwa demokrasi sejati bukan tentang besarnya panggung politik.
Tetapi tentang ketulusan warga yang percaya bahwa memilih adalah wujud cinta pada lingkungan dan bangsanya. (*/red)