KIP Putuskan Terima Permintaan Pemohon, Wahyudin Ukoli: Ada Upaya Hukum Selanjutnya

Suasana pembacaan putusan sidang di KIP. Foto Rudi Loho

NPM, MANADO-Mejelis Sidang sengketa informasi Komisi Informasi Publik (KIP) menerima permohonan LSM Rako terhadap sejumlah informasi haji di Kemenag Sulawesi Utara.

Sidang putusan dipimpin Ketua Mejelis Isman Momintan serta anggota Wanda Turangan dan Andrew Mongdong, Rabu (15/10) di kantor KIP.

Dalam amar putusannya, pertama, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan bahwa informasi yang diminta pemohon adalah informasi yang bersifat terbuka dan wajib diberikan pada pemohon.

Ketiga, memerintahkan termohon untuk menyerahkan informasi yang diminta selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak salinan putusan diterima termohon.

Terkait hasil putusan ini, Kabid Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Sulut, Wahyudin Ukoli menyatakan tidak menerima putusan sengketa informasi tersebut.

“Kami menghargai hasil putusan majelis KIP, namun kami menolak dan tetap akan ada langkah hukum selanjutnya ke PTUN,” jelas Wahyudin usai sidang pembacaan putusan.

Wahyudin Ukoli

Menurut Wahyudin, substansi materi yang disengketakan LSM Rako sesungguhnya tidak termasuk dalam ranah kewenangan KIP.

Dalam bahasa hukum KIP tidak memiliki kompetensi absolut. Materi yang disengketakan LSM Rako adalah informasi terkait biaya lokal.

Sementara biaya lokal itu adalah biaya yang dikumpulkan oleh jamaah sendiri.

Biaya lokal ini bukan APBD apalagi APBN  Besarannya merupakan hasil kesepakatan antarjamaah dan bukan dana pemerintah.

Ia menambahkan, berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang membuatnya. Dalam hal ini, kata Wahyudin, perjanjian dilakukan antara perwakilan jamaah dengan jamaah itu sendiri.

Lanjut Wahyudin, materi yang disengketakan terkait dengan informasi biaya lokal penyelenggaraan ibadah haji, yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Namun karena belum adanya Perda pada tahun 2024, dan dengan pertimbangan efisiensi pada tahun 2025, biaya tersebut belum dapat sepenuhnya ditanggung pemerintah daerah.

Pada akhirnya biaya tersebut ditanggung langsung jamaah itu sendiri.

“Sederhananya, itu uang jamaah sendiri, hasil rapat dan kesepakatan mereka. Misalnya kita berempat sepakat kumpul uang untuk pergi ke luar daerah, lalu kita percayakan uang itu untuk bayar tiket, makan, dan penginapan kepada seseorang. Kok hasil kesepakatan itu harus dipublikasikan ke umum? Kan tidak, itukan uang kita sendiri, bukan uang negara,” ujar Wahyudin dengan dialek khas Manado.

Ia menegaskan, Komisi Informasi memang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa informasi, namun dalam kasus ini, karena objek sengketanya bukanlah biaya yang bersumber dari keuangan negara, maka sesuai pasal 1 ayat 3 UU no 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik disebutkan badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dalam pasal tersebut lanjut Wahyudin, jelas bahwa yang dapat dijadikan objek sengketa adalah informasi terkait pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD.

“Kami hormati putusan majelis, tapi kami menilai ini perlu diuji kembali. Karena putusan majelis sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan maupun keberatan yang disampaikan secara lisan maupun tertulis dari pihak termohon dan tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan,” tegas Wahyudin. (rud)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *