Penulis : Ahmad Waafi
Polri merupakan suatu lembaga penegak hukum yang bertanggungjawab langsung dibawah Presiden.
Dalam tubuh polri tersusun kerangka ataupun srtuktur kepengurusan dengan dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian Indonesia adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Polisi sebagai aparat penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan yang ada di wilayah hukumnya, polisi juga di dituntut agar dapat mengimbangi perkembangan modus-modus kejahatan yang selalu berkembang dari waktu kewaktu.
Tugas Kepolisian yang dinilai paling efektif untuk menanggulangi terjadinya kejahatan dalam penanggulangan dan pengungkapan suatu tindak pidana adalah tugas preventif karena tugas yang luas hampir tanpa batas, dirumuskan dengan kata-kata berbuat apa saja boleh asal keamanan terpelihara dan asal tidak melanggar hukum itu sendiri.
Preventif dilakukan dengan 4 kegiatan pokok; mengatur, menjaga, mengawal dan patroli.
Patroli merupakan kegiatan yang dominan dilakukan, karena berfungsi untuk mencegah bertemunya faktor niat dan kesempatan agar tidak terjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat atau pelanggaran Hukum dalam rangka upaya memelihara atau meningkatkan tertib hukum dan upaya membina ketentraman masyarakat guna mewujudkan atau menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat (Yoyok Ucuk Suyono:2013).
Dosen Fakultan Hukum Unissula, Faisol Azhari, menerangkan, Perhatian terhadap polisi Indonesia sebagai bagian penting dalam proses penegakan hukum dan salah satu komponen dalam sistem peradilan pidana/criminal justice system nampaknya belum banyak diminati publik apalagi jika dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lain seperti Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan sebagainya.
Padahal apabila diamati menurut Awaloedin Djamin sesungguhnya Kepolisian Republik Indonesia atau disingkat Polri merupakan organisasi yang besar dan kompleks.
Karena kewajibannya yang melindungi jiwa, harta benda dan hak rakyat Indonesia serta tugas dan tanggungjawabnya dengan kemampuan teknis profesional yang khas seperti intelijen kepolisian, reserse, satuan bhayangkara, lalu lintas, brigade mobil dan lain sebagainya dengan didukung teknologi kepolisiannya seperti laboratorium kriminil, identifikasi kriminil, komunikasi elektronik, manajemen kepolisian yang dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia, anggaran dan sebagainya.
Oleh karena itu penggambaran di atas sebenarnya menjadi tidak tepat apabila dunia kepolisian kalah menarik untuk dikaji dan dianalisis sebagaimana institusi penegakan hukum lain yang ada di Indonesia.
Meski kenyataan masih menunjukkan bahwa polisi lebih dikenal oleh masyarakat sebagai badan atau figur yang pekerjaannya memburu dan menangani kejahatan. Di samping juga sugesti anggota polisi itu sendiri dengan masih melekatnya fungsi yang lama ketimbang fungsi polisi yang baru.
Sekalipun sebenarnya perubahan fungsi itu sudah cukup lama. Bahkan Satjipto Rahardjo, guru besar pengamat ilmu polisi menyebutnya sebagai polisi sipil dalam perubahan sosial di Indonesia.
Jadi tidak hanya masyarakat pada umumnya tetapi juga pada anggota polisi di mana mendengar kata polisi atau terkait dengan profesinya segera saja pikirannya tertuju pada kejahatan pencurian, perampokan, penodongan, pembunuhan dan lain sebagainya.
Hal-hal di atas bisa saja terjadi karena image itu masih melekat pada diri anggota polisi. Ini terjadi karena faktor seperti atribut/uniform/ seragam yang digunakan dan segala sesuatu yang melekat padanya atau performance/ penampilan yang sangar dan garang.
Sesungguhnya persepsi di atas kurang menggambarkan apa yang seharusnya terjadi di tubuh kepolisian Republik Indonesia atau Polri. Karena telah terjadi perubahan paradigma dari polisi sebagai pemburu kejahatan menjadi polisi yang menjalankan pekerjaan sosial.
Telah terjadi perubahan dari arti dan asal muasal polisi yang sesungguhnya menjadi yang Satjipto Rahardjo lebih menyebutnya sebagai polisi sipil. Ditambah lagi tubuh kepolisian Republik Indonesia mengenal slogan “Senyum, Salam, Sapa” yang disingkat S3.
Menurut Satjipto Rahardjo, tugas polisi di dalamnya menyangkut persoalan-persoalan ekonomi, politik dan kebudayaan. Berorientasi pada perubahan paradigma pada tubuh polisi itu lebih menempatkan polisi pada penegakan ketertiban dari pada sekedar pemburu kejahatan.
Oleh karenanya persoalan kepolisian akan menarik apabila dikaji dan dikaitkan dengan persoalan tujuan pidana dan penegakan hukum pidana. Karena persoalan penegakan hukum pidana tidak bisa dipisahlepaskan dari kebijakan hukum pidana.
Menurut G.Peter Hoefnagels persoalan kebijakan hukum pidana atau The criminal policy merupakan bagian yang integral dari kebijakan yang lebih luas yang disebut dengan kebijakan sosial atau The social policy. Dari hal di atas, tugas polisi dalam menciptakan penegakan ketertiban menjadi persoalan yang sangat urgen.
1. Peran Polisi Sebagai Sarana Kontrol Sosial di Masyarakat ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki ketidaksamaan, Azhari, 1995, dalam bukunya menjelaskan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan “politeia”, di Inggris “police” juga dikenal adanya istilah “constable”, di Jerman “polizei”, di Amerika dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”, di Jepang dengan istilah “koban” dan “chuzaisho” walaupun sebenarnya istilah “koban” adalah merupakan suatu nama pos polisi di wilayah kota dan chuzaisho yang merupakan pos polisi di wilayah pedesaan.
Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai judul buku pertama Plato, yakni “Politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.
Kepolisian adalah salah satu organ pemerintahan yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan negara karena itu keberadaanya tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan atau negara tersebut. Berdasarkan uraian pada Pasal 1 angka 5 UU Kepolisian, Kepolisian NRI yang berperan sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional.
Kepolisian NRI dalam menjalankan peran pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat harus memiliki kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Dalam pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 bahwa : Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Kepolisian dalam suatu negara tidak sama dengan negara lain karena kepolisian pada suatu negara sangat terkait dengan tujuan negara, falsafah negara, sistem pemerintahan, bentuk negara, sejarah negara, dan aspirasi pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban, tidak terkecuali kepolisian Indonesia.
Dimana falsafah akan sangat menentukan tujuan negara yang dituangkan dalam tujuan nasional tujuan nasional inilah yang menentukan tujuan kepolisian, demikian pula untuk falsafah negara yang memberikan warna terhadap perilaku dan budaya kepolisian baik tingkah laku pribadi maupun organisasi serta karakter kepolisian, hal inilah yang sangat mempengaruhi terbentuknya konsepsi kepolisian.
Dalam pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujauan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselengaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat , serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.” Bahwa dilihat dari dimensi yuridik , fungsi kepolisian terdiri atas Fungsi Kepolisian Umum dan Fungsi kepolisian Khusus.
Fungsi Kepolisian Umum berkait dengan kewenangan kepolisian yang berlandaskan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan meliputi semua lingkungan kuasa hukum yaitu : 1. lingkungan kuasa soal-soal ( Zaken gebied ) yang termasuk dalam kompetensi hukum publik, 2. lingkungan kuasa orang ( personen gebied ), 3. lingkungan kuasa tempat ( ruimte gebied ), 4. lingkungan kuasa waktu ( tjids gebied ). Fungsi Kepolisian umum diemban oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia , sehingga tugas dan wewenangnya akan menyangkut ke empat lingkungan kuasa tersebut.
Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mencakup tataran represif, preventif dan primtif. Tataran represif adalah dimana pada waktu melaksanakan tugas dan kewenanganya selalu mengutamakan azas legalitas, hal ini dilakukan dalam rangka penegakan hukum, sedangkan tataran preventif dan preemtif adalah dimana dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya selalu mengutamakan azas preventif, azas partisipatif (memberikan kesempatan terhadap peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya) , dan azas subsidiaritas (azas yang mewajibkan Polri melakukan tindakan yang perlu sebelum instansi tekhnis yang berwenang hadir di tempat kejadian dan selanjutnya menyerahkan keapda istansi yang berwenang).
Dari penjelasan tersebut diatas, secara substantif dimaksudkan bahwa dalam setiap kehadiran Polri dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya harus dirasakan adanya nuansa dan karakter Polri selaku sarana kontrol ,pelindung , pengayom, dan pelayan masyarakat. Namun tidak jarang ditemukan banyaknya kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Republik Indonesia yang dilakukan oleh oknum-oknum baik dari Internal maupun eksternal, sehingga merusak Citra Polri di mata masyarakat, oleh karenanya perlu adanya perbaikan yang signifikan.
2. Peran Polisi Dalam Perubahan Masyarakat Indonesia
Ketika image orang/masyarakat/publik masih melekat yaitu berupa polisi sebagai pemburu kejahatan, maka rasanya akan sangat sulit polisi difahami atau memahami dirinya sebagai penegak ketertiban. Apalagi tidak diberikan sama sekali kewenangan istimewa yang disebut sebagai tindakan diskresi di dalam melaksanakan hukum.
Dan keberhasilan polisi dalam penegakan ketertiban tidak semata-mata terletak pada tugasnya saja melainkan juga image masyarakat yang tidak lagi menganggapnya identik dengan kekerasan, penembakan, pemburuan dan sebagainya melainkan melekatkan paradigma fungsi polisi pada masyarakat (juga polisi) sebagaimana disebutkan sebagai polisi sipil, polisi sebagai sahabat/teman masyarakat, polisi yang akrab dengan kelemahlembutan, di samping sebagai pengayom masyarakat.
Predikat-predikat di atas memang lebih tepat diberikan dalam rangka memenuhi keinginan masyarakat di mana polisi lebih mencurahkan tindakan-tindakannya terhadap pemecahan persoalan-persoalan kejahatan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penanganan kejahatan.
Perubahan paradigma fungsi tersebut nampaknya tidak muncul secara tiba-tiba maupun buatan melainkan didorong oleh perubahan struktur dalam masyarakat.
Dan perubahan dalam masyarakat tersebut tidak lain adalah industrialisasi dan modernisasi yang diikuti oleh proses-proses yang sudah sangat dikenal seperti urbanisasi, individualisasi serta berbagai macam konflik.
Terlepas daripengharapan-pengharapan sebagaimana yang patut dilakukan oleh polisi di atas, cara penciptaan ketertiban oleh polisi sangat tergantung pada pola dasar kehidupan masyarakat. Polisi Indonesia atau polri dikondisikan oleh pola dasar kehidupan yang dipakai dalam masyarakat Indonesia seperti keselarasan dan kekeluargaan. Dari situlah gaya polisi Indonesia memang tidak bisa lain yaitu cermin gaya hidup masyarakat Indonesia.
Masalah gaya hidup masyarakat sangat relevan dengan masalah perubahan sosial yang terjadi yang tidak hanya karena perubahan-perubahan yang berlangsung dengan intensif di tingkat internasional dan global tetapi juga pada kawasan domestik.
Masalah polisi yang cenderung sertius (di Indonesia) nampaknya dimulai sejak zaman kolonial Belanda (jajahan Belanda) sekitar Abad ke enam belas. Dan mulai saat itulah susunan kepolisian mengalami perubahan dari waktu ke waktu hingga saat ini. Misalnya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Inggris Raffles dikeluarkan suatu regulasi dan peraturan tentang tata usaha dari kehakiman dan pengadilan-pengadilan daerah di Jawa dan tata usaha kepolisian dan masing-masing peraturan tersebut menjadidasar Indische Reglement dan Reglement op de Rechterlijk Organisatie.
Menurut M. Qudang perhatian terhadap pengorganisasian kepolisian meningkat seiring dengan laporan tentang meningkatnya kriminalitas di negeri ini yang terdengar sampai di Negeri Belanda waktu itu.
Sebenarnya masalah perubahan sosial merupakan tantangan yang patut dihadapi polisi. Ketika kita berada di abad ke dua puluh satu saat ini, ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi telah memainkan peranannya yang sangat penting dan menentukan dalam merombak wajah serta kehidupan dunia ketimbang sebelumnya. Di samping itu pula, tidak hanya menghasilkan barangbarang yang merombak kualitas kehidupan manusia, melainkan juga tatanan kehidupan sosial, politik serta ekonomi umat manusia.
Terkait dengan masalah polisi, perubahan mendasar terjadi pada tatanan normatif masyarakat oleh hukum dan lebih konkrit lagi dalam bidang peradilan.
Munculnya sistem peradilan pidana/criminal justice system di mana polisi menjadi salah satu mata rantai/gate keeper/ komponen pertama di dalam sistem itu. Menurut Satjipto Rahardjo kekuasaan dalam masyarakat ditentukan oleh hubungan antara pengetahuan, kekerasan dan kemakmuran.
Kedudukan polisi di tengah perubahan sosial ini nampaknya sarat dengan berbagai tantangan. Tidak ada perubahan yang tidak dilewati polisi apalagi jika itu dilakukan melalui hukum. Karena dewasa ini sudah sangat wajar untuk mengatakan bahwa hukum itu merupakan sarana penting dalam rekayasa sosial/ as a tool of social engeenerring.
Oleh karena itu, polisi dalam kaitannya dengan perubahan sosial atau dasar kehidupan masyarakat sebagai penegak ketertiban, polisi dengan cara kerja prefentif dan preemtifnya diharapkan menjamin kelestarian lingkungan jauh sebelum terjadi kerusakan dan terlebih dahulu tahu ketimbang bangsanya agar dapat memimpin bangsanya dengan selamat melalui perubahan-perubahan sosial.
Menghadapi perubahan dan tantangan itu seyogysanya dunia kepolisian segera merasakan bahwa mereka sedang berada di tengah gejolak kehidupan yang pada akhirnya akan berimbas terhadap pekerjaan polisi.
William Tafoya dalam expert on the future menggarisbawahi bahwa Changes of police functions towards the end of the century, it is the integration of the social network.
Perubahan-perubahan sosial sebagaimana terjadi memang harus dihadapi oleh polri dalam rangka mencapai tujuan penegakan ketertiban dalam masyarakat. Keadaan tersebut merupakan fakta yang keras. Dan polisi tidak mungkin mengelak atau menolaknya.
Kendatipun sering pula terjadi kekakuan dalam bertindak yang seolah-olah terkesan antipati terhadap perubahan-perubahan sosial. Hal tersebut tetap saja dianggap wajar karena memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam hubungannya dengan kinerja polisi merupakan hal yang tidak mudah.
Oleh karena itu polri sendiri selama ini memang sudah cukup merasa prihatin dengan pelayanan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya terhadap masyarakat.
Daftar Pustaka
Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Terhadap UnsurUnsurnya, UIPress, Jakarta.
Faisol Azhari, 2002, Diskresi Polisi Negara Republik Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana (Thesis), Program Magister Ilmu Hukum (Sistem Peradilan Pidana) Undip, Semarang.
—————-, Polri : Dalam Fungsi Penegakan Ketertiban Dan Dasar Kehidupan Masyarakat, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Unissula, 2011.
Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung
————–, 2002, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sadjijono, 2008, Polri dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, LaksBang PressINDO, Yogyakarta.
Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Yoyok Ucuk Suyono, Hukum Kepolisian, Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013.