NPM, Manado – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu nasional dipisah dengan pemilu daerah atau lokal.
Dilansir detiknews, MK memutuskan pemilihan umum DPRD dan kepala daerah dilakukan 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pemilu anggota DPR, DPD dan presiden/wakil presiden.
Terkait dengan pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pemilihan 27 November 2024 dan yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan 14 Februari 2025, MK menyerahkan pengaturan itu ke DPR. Dalam hal ini, DPR sebagai pembentuk undang-undang.
Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat, Ferry Daud Liando berpendapat tahun 2029 bisa tidak ada Pilkada.
Dijelaskan, Kemendagri bisa mengangkat Plt jika periode Gubernur berakhir di tahun 2029.
“Jika jabatan kepala daerah kosong, maka dapat diisi dengan penjabat oleh Mendagri dengan periodisasi sampai Pilkada dilaksanakan di 2031,” kata Liando, Kamis.
Namun yang agak sulit, jika masa jabatan DPRD berkahir di tahun 2029. Jika kosong, amat mustahil diisi dengan penjabat. Karena, jumlahnya bisa ribuan se Indonesia.
“Kemungkinan yang bisa terjadi, DPRD hasil pemilu 2024 akan menjabat hingga tahun 2031. Masa jabatan kepala daerah hanya 5 tahun. Jika pilkada nanti akan dilaksanakan pada Juni 2031, maka kemungkinan jabatan kepala daerah di daerah hasil pilkada 2024 dan 2025 akan angkat penjabat kepala daerah,” ujarnya.
Hanya saja, aturan itu bisa saja berubah seperti penambahan menjadi 7 tahun 6 bulan.
“Apakah akan diperpanjang dari 5 tahun menjadi 7 tahun 6 bulan, itu tergantung aturan yang akan dibuat DPR R,” tuturnya.
Yang unik itu, lanjut Liando, adalah periodisasi DPRD jika berakhir 2029, tentu agak mustahil diisi dengan penjabat.
Kemungkinan DPRD yang berpeluang dari 5 tahun menjadi 7 tahun 6 bulan. Dengan demikian, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 akan batal.
Apalagi putusan ini mengatur syarat parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan calon yaitu parpol atau gabungan parpol yang memiliki capaian ambang batas perolehan suara hasil pemilu.
“Misalnya provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut,” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskan, karena pemilu DRPD Provinsi dan Pilkada dilakukan bersamaan di hari dan jam yang sama, maka syarat perolehan hasil pemilu untuk pencalonan pilkada tidak akan berlaku.
Pada pilkada yang digelar sebelum tahun 2024, syarat parpol dan gabungan parpol yang bisa mengajukan calon pilkada adalah parpol atau gabungan parpol yang nemiliki kursi sebanyak 20 persen dari jumlah anggota DPRD hasil pemilu.
Pada pilkada 2024, MK memutuskan syarat perolehan jumlah kursi diganti dengan syarat jumlah perolehan suara hasil pemilu.
Namun pada pilkada di tahun 2031, kemungkinan syarat ambang batas perolehan suara juga akan hilang karena Pemilu dan Pilkada dilakukan di hari dan jam yang sama.
Dengan demikian, semua Parpol peserta pemilu bisa saja mengajukan pasangan calon kepala daerah.
“Jika parpol peserta pemilu terdiri dari 10 maka memungkinan jumlah pasangan calon menjadi 10 pasang,” tandas Liando. (*/don)