Membaca Kritis Pendidikan Kotamobagu: Bangun Menara Gading, Abaikan Pondasi SDM

Funco Tanipu

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Akademisi, Pengamat Kebijakan Publik)

Pemerintah Kota Kotamobagu, dalam hal ini Wali Kota Kotamobagu, dr. Weny Gaib, Sp.M dan Wakil Wali Kota Kotamobagu, Rendy Virgiawan Mangkat, S.H., M.H, tengah menggulirkan mimpi besar: mencetak 100 doktor sebagai simbol kemajuan SDM lokal.

Gagasan ini tentu visioner, namun realitas di lapangan memperlihatkan fondasi pendidikan yang belum kokoh terutama pada jenjang SD dan SMP yang sejatinya menjadi kewenangan utama pemerintah kota.

Data dari Kotamobagu Dalam Angka 2025 menunjukkan bahwa mayoritas angkatan kerja masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP, sementara pengangguran justru tinggi di kalangan lulusan SMA.

Ketimpangan ini menandakan bahwa arah kebijakan SDM belum sepenuhnya menjawab persoalan mendasar pendidikan dan ketenagakerjaan daerah.

Dalam konteks penyusunan RPJMD 2025 – 2030 dan RKPD 2026, program 100 doktor perlu diuji secara kritis: apakah urgensinya selaras dengan kewenangan dan kebutuhan lokal?

Apakah SDM dengan gelar doktor memang menjadi solusi prioritas? Ataukah kebijakan ini hanya memperkuat simbolisme elit tanpa membenahi akar ketimpangan yang nyata?

Analisis ini mencoba merangkai data pendidikan, ketenagakerjaan, serta regulasi kewenangan daerah untuk mendorong perumusan kebijakan yang lebih utuh, membumi, dan berkeadilan bukan hanya mimpi besar yang melayang tanpa pijakan.

Fondasi yang Rapuh: Ketimpangan Pendidikan Dasar hingga Menengah

Kondisi pendidikan dasar hingga menengah di Kota Kotamobagu menyimpan ironi mendalam yang kerap tertutupi oleh angka-angka yang tampak menjanjikan.

Memang, APM SD mencapai 96,78 persen dan APK SD melonjak hingga 105,93 persen pada 2024 sekilas tampak sebagai capaian. Namun, APK yang melebihi 100 persen justru menandakan ketidakteraturan usia peserta didik dalam sistem pendidikan; anak-anak yang terlalu tua atau terlalu muda untuk jenjangnya masih mendominasi.

Ini bukan pencapaian, melainkan alarm keras tentang banyaknya anak yang tertinggal, mengulang kelas, atau terlambat masuk sekolah.

Angka-angka ini menampakkan kesenjangan laten dalam mutu, pemerataan, dan keberlangsungan pendidikan dasar di Kotamobagu yang seharusnya menjadi fondasi kokoh pembangunan SDM.

Lebih mencemaskan lagi, transisi ke jenjang lebih tinggi tidak memperlihatkan perbaikan justru sebaliknya. APM SMP hanya 75,77 persen, menandakan seperempat anak usia SMP di luar sekolah formal, dan APK yang turun dari tahun sebelumnya menjadi tanda penurunan minat atau kemampuan mengakses pendidikan lanjutan.

Di tingkat SMA, situasinya memburuk: hanya 61,95 persen remaja yang bersekolah sesuai usianya. Artinya, hampir 4 dari 10 anak usia SMA tidak berada di bangku sekolah.

Meski APK SMA berada di 91,40 persen, itu belum menjawab masalah krusial: ada 8,6 persen remaja yang sepenuhnya lepas dari sistem pendidikan.

Ini bukan sekadar statistik stagnan, tetapi cerminan dari struktur pendidikan yang belum inklusif, belum menjangkau yang miskin, terpencil, atau tertinggal dan terlalu jauh dari misi mencetak 100 doktor jika akar masalahnya sendiri belum dibenahi.

Jika pembangunan sumber daya manusia adalah bangunan bertingkat, maka Kota Kotamobagu sedang membangun atap tanpa memperkuat pondasinya.

Data menunjukkan hanya terdapat 7 SMA, 16 SMP, dan 9 SMK untuk melayani seluruh wilayah kota angka yang sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia sekolah.

Ketimpangan distribusi geografis memperburuk keadaan; misalnya, Kecamatan Kotamobagu Timur sama sekali tidak memiliki SMK.

Akibatnya, akses pendidikan menjadi barang mahal bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang tinggal jauh dari sekolah, memaksa mereka menanggung biaya transportasi harian dan risiko putus sekolah dini.

Dalam sistem zonasi yang kaku, ketimpangan ini menjadi mekanisme eksklusi yang menyamar sebagai regulasi.

Minimnya sekolah menengah mempersempit daya tampung dan memicu kepadatan berlebih di sekolah-sekolah tertentu, sementara banyak calon siswa tersingkir bukan karena tidak mampu belajar, tapi karena tidak mendapat kursi.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan Kota Kotamobagu belum bertumpu pada keadilan spasial dan perencanaan kebutuhan riil.

Pemerintah terlalu terpaku pada indikator seperti APK dan APM, padahal kedua angka itu menyembunyikan realitas kelangkaan akses di banyak titik kota.

Ketika pembangunan sekolah lebih sering ditentukan oleh pertimbangan proyek atau motif elektoral, bukan distribusi kebutuhan, maka yang lahir bukan solusi, melainkan ketimpangan baru.

Dalam situasi ini, mimpi mencetak 100 doktor tak lebih dari retorika, jika fondasi pendidikan menengah masih serapuh ini.

Di permukaan, jumlah ASN Kota Kotamobagu tampak memadai, namun data menunjukkan bahwa sekitar 27 persen dari mereka 645 orang pada tahun 2024 belum mengenyam pendidikan strata satu.

Meski ada penurunan dari tahun sebelumnya (705 orang ASN pada 2023 dan 783 orang ASN pada 2022), angka ini tetap mengindikasikan ketertinggalan signifikan dalam kapasitas dasar birokrasi.

Situasi menjadi lebih kompleks ketika kita melihat distribusi pendidikan terakhir para ASN di sektor birokrasi. program pendidikan lanjutan seperti S2 hanya mencakup 164 orang.

Jika kita anggap S2 sebagai standar peningkatan kualitas SDM birokrat, maka capaian ini sangat minim.

Dalam konteks tuntutan pelayanan publik berbasis teknologi dan inovasi, keberadaan ASN tanpa pendidikan tinggi menjadi hambatan struktural yang tak bisa dikesampingkan.

Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan angka, tetapi menyentuh legitimasi profesional ASN sebagai pelayan publik yang kompeten.

Kritiknya sederhana: apakah Pemerintah Kota benar-benar memiliki peta jalan pengembangan SDM, atau hanya berputar-putar di angka dan program populis?

Sebab jika ASN sebagai jantung pelayanan tidak ditempatkan dalam strategi yang serius dan adil, maka seluruh sistem akan mengalami gangguan tak peduli berapa banyak APBD yang dikucurkan.

Ijazah Rendah, Kerja Kasar: Paradoks Ketenagakerjaan di Kotamobagu

Di Kota Kotamobagu, data statistik penduduk usia kerja tahun 2024 mengungkap sebuah ironi pembangunan sumber daya manusia.

Dari total 70.641 angkatan kerja, sebanyak 66.602 orang bekerja dan 4.039 lainnya menganggur.

Angka ini terlihat menggembirakan pada pandangan pertama, dengan tingkat partisipasi kerja yang tinggi dan tingkat pengangguran relatif rendah. Namun, jika ditelisik lebih dalam, struktur pendidikannya menyimpan kegelisahan yang mendalam.

Sebanyak 18.486 orang angkatan kerja hanya menyelesaikan pendidikan sampai SD, dari jumlah ini 18.012 orang bekerja, sedangkan 474 orang menganggur.

Persentase yang bekerja cukup tinggi, 97,44%, namun kualitas pekerjaan yang mereka isi patut dipertanyakan: kemungkinan besar di sektor informal, berupah rendah, tanpa jaminan sosial dan minim perlindungan ketenagakerjaan.

Sementara itu, lulusan SMP berjumlah 12.019 orang, dengan 11.630 bekerja dan 389 menganggur, menunjukkan pola serupa.

Yang mencolok adalah lulusan SMA. Dari 26.687 lulusan SMA yang masuk kategori angkatan kerja, 2.633 di antaranya menganggur, atau sekitar 9,87%, menjadikannya penyumbang pengangguran terbanyak berdasarkan jenjang pendidikan.

Ini menjadi sinyal kuat adanya mismatch antara output pendidikan menengah dan pasar kerja lokal.

SMA sebagai institusi menengah umum nyatanya tidak banyak memberikan keterampilan vokasional atau kecakapan kerja praktis yang dibutuhkan dunia kerja riil, terutama di daerah dengan peluang industri terbatas seperti Kotamobagu.

Sementara itu, lulusan perguruan tinggi (asumsinya adalah jenjang diploma hingga sarjana dan sederajat) berjumlah 13.449 orang, dengan 12.906 bekerja dan 543 menganggur, menunjukkan tingkat pengangguran 4,04% yang lebih rendah dibanding lulusan SMA.

Namun angka ini tetap memperlihatkan bahwa gelar tinggi tidak otomatis menjamin peluang kerja, terutama di daerah dengan pasar kerja kecil dan tidak terdiferensiasi.

Dengan struktur ketenagakerjaan yang masih menyerap tenaga kerja informal dan tidak terspesialisasi, serta pendidikan vokasional yang belum menjawab kebutuhan riil dunia industri lokal, maka masalah bukan sekadar “jumlah lulusan”, tapi relevansi pendidikan itu sendiri.

Pendidikan menengah di Kotamobagu telah kehilangan makna transformatifnya. Ia tidak lagi menjadi wahana peningkatan kapasitas dan penghidupan, tapi justru menjadi pabrik gelar tanpa jaminan kerja.

Jika dibiarkan, maka jurang antara sekolah dan pekerjaan akan semakin dalam. Dan generasi muda yang telah bersusah payah menyelesaikan SMA atau SMK akan terjebak dalam lingkaran frustrasi, menganggur, atau terpaksa bekerja di luar bidang mereka dengan upah rendah dan tanpa perlindungan sosial.

Ketimpangan Pendidikan dan Ketenagakerjaan Hambat Penurunan Kemiskinan

Keterkaitan antara pendidikan, ketenagakerjaan, dan kemiskinan di Kota Kotamobagu semakin jelas ketika kita mengaitkan data statistik sosial antara tahun 2022–2024.

Meskipun angka melek huruf usia 15 tahun ke atas mencapai 99,83% pada 2024, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat dari 75,56 (2022) menjadi 76,86 (2024), kesenjangan dalam pendidikan menengah dan keterampilan kerja tetap tinggi.

Data menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat SMP dan SMA masing-masing hanya sekitar 75,77% dan 61,95%, yang berarti sebagian besar remaja usia sekolah tidak menyelesaikan pendidikan pada jenjang yang semestinya.

Akibatnya, banyak anak muda yang memasuki pasar kerja tanpa kualifikasi memadai, berkontribusi pada tingginya pengangguran lulusan SMA/SMK, sebagaimana tercermin dari angka 2.633 orang pengangguran dari lulusan SMA tahun 2024.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang meningkat dari 65,87% (2022) ke 71,20% (2024) seolah menandakan peningkatan semangat kerja, tetapi ini juga bisa mencerminkan banyaknya lulusan pendidikan menengah yang terpaksa masuk pasar kerja tanpa keahlian yang cukup, akibat keterbatasan akses ke pendidikan tinggi atau pelatihan vokasi.

Mismatch antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri lokal menyebabkan para pencari kerja dari lulusan SMK yang seharusnya siap kerja justru masuk dalam kelompok pengangguran.

Sementara itu, tingginya proporsi pekerja informal yang tidak tercatat dalam sistem jaminan sosial juga memperburuk daya tahan ekonomi rumah tangga, menyebabkan kelompok ini sangat rentan terhadap kemiskinan.

Situasi ini menjelaskan mengapa, meskipun PDRB per kapita meningkat dari Rp34,94 juta (2022) menjadi Rp40,40 juta (2024) dan inflasi menurun, angka kemiskinan justru bertambah menjadi 7,05 juta orang atau 5,12% pada 2024.

Kenaikan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas belum berhasil menciptakan peluang kerja yang inklusif dan berkeadilan.

Kualitas pendidikan dasar-menengah yang belum tuntas, ketidaksesuaian antara pendidikan vokasi dan kebutuhan pasar, serta lemahnya perlindungan sosial bagi pekerja informal menjadi faktor utama stagnasi pengurangan kemiskinan.

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan harus diorientasikan ulang untuk menyasar kelompok rawan putus sekolah, memperkuat pelatihan kerja berbasis kebutuhan lokal, serta memperluas peluang kerja formal bagi lulusan pendidikan menengah.

Kebijakan di Luar Wewenang

Di tengah berbagai persoalan mendasar yang melilit sistem pendidikan dan ketenagakerjaan serta problem kemiskinan di Kotamobagu, pemerintah kota justru mengusung program ambisius bertajuk “100 Doktor”.

Sebuah inisiatif yang tampak megah dari kejauhan, namun terlihat timpang ketika didekati dengan realitas faktual lapangan.

Alih-alih menjawab kebutuhan mendesak seperti distribusi sekolah yang tidak merata, tingginya angka pengangguran lulusan SMA/SMK, atau kekurangan guru yang berkualitas dan terlatih di level pendidikan dasar, program ini justru menyerupai menara gading tinggi, mengilap, tapi terputus dari tanah tempat rakyat berpijak.

Program 100 Doktor juga terasa timpang secara efisiensi fiskal dan sosial. Biaya kuliah program doktoral, sangat tinggi, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan output yang tidak selalu langsung berdampak pada kebutuhan struktural daerah.

Dalam konteks Kota Kotamobagu yang masih menghadapi kekurangan sekolah, ketimpangan guru antar wilayah, dan lulusan pendidikan menengah yang menganggur, dan kemiskinan yang stagnan, program ini justru berpotensi menjadi simbol kemewahan yang tidak berdampak luas.

Lebih jauh, belum pernah ada laporan resmi yang menunjukkan peta kebutuhan keilmuan atau analisis bidang strategis apa yang akan diisi oleh para doktor ini di masa depan. Siapa yang membutuhkan? Di mana mereka akan bekerja?

Apakah sudah ada institusi penelitian, pusat inovasi, atau kebijakan pengembangan riset daerah yang konkret untuk menyerap keahlian mereka? Jika tidak, maka gelar doktor akan hanya menjadi gelar prestisius di atas kertas, tanpa kapasitas sistemik untuk dioperasionalkan dalam kerangka pembangunan daerah.

Pertanyaan yang lebih tajam bahkan harus diajukan: apakah program ini hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau hanya sebagai pencitraan elitis dari pengambil kebijakan?

Ketika guru-guru masih kesulitan mengakses pelatihan dasar, ketika sekolah-sekolah pinggiran tidak memiliki fasilitas yang layak, ketika lulusan SMK masih bingung ke mana harus bekerja, dan ketika ASN lulusan SMA masih bekerja dalam sistem birokrasi maka prioritas program doktor terasa jauh dari urgensi.

Di sinilah problem utamanya: bukan hanya pada mimpi yang terlalu tinggi, tapi pada pijakan yang goyah. Kota ini belum menyelesaikan PR dasarnya, tetapi sudah terburu-buru mengejar prestise akademik tingkat lanjut.

Padahal, pengembangan SDM yang efektif bukan ditentukan dari seberapa tinggi gelar yang dikejar, melainkan seberapa relevan pendidikan itu terhadap persoalan nyata masyarakat.

Jika pengambil kebijakan bersungguh-sungguh ingin membangun SDM unggul, maka semestinya pembangunan dimulai dari bawah: perkuat sekolah dasar dan menengah, perluas akses ke SMK berkualitas (kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara), tingkatkan APM dan APK secara nyata, serta revitalisasi sistem pelatihan kerja dan penyelarasan pendidikan vokasi dengan kebutuhan pasar.

Doktor bisa menunggu, tapi guru dan murid tidak bisa. Mereka adalah wajah riil dari masa depan daerah ini.

Gagasan Pemerintah Kota Kotamobagu untuk mencetak 100 doktor dalam beberapa tahun ke depan patut dikritisi lebih jauh, bukan sekadar dari sisi urgensi, tapi juga dari segi legalitas dan tanggung jawab konstitusional.

Dalam kerangka regulasi nasional, urusan pendidikan tinggi secara eksplisit bukan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada lampiran pembagian urusan pemerintahan konkuren, yang menyebutkan bahwa kewenangan pendidikan kabupaten/kota hanya meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar (SD dan SMP), serta pendidikan nonformal.

Dengan dasar ini, program pencetakan doktor sebenarnya tidak menjadi domain kewenangan wajib pemerintah kota.

Secara administratif, pelibatan dalam pendidikan tinggi bisa dimungkinkan hanya dalam bentuk dukungan, bukan pelaksanaan atau perumusan kebijakan yang bersifat afirmatif dan sistemik seperti pemberian beasiswa doktoral massal.

Artinya, Pemkot hanya bisa masuk sebagai fasilitator atau pemberi hibah dengan catatan bahwa seluruh kewajiban dasarnya di sektor SD dan SMP telah terpenuhi baik dalam hal akses, kualitas, distribusi guru, sarana prasarana, hingga angka kelulusan.

Maka pertanyaannya, sudahkah urusan pendidikan dasar di Kotamobagu tuntas?

Jika masih terdapat 645 ASN yang belum sarjana, jika rasio guru berkualifikasi masih timpang, jika sekolah belum semua terakreditasi A atau B, maka mengalihkan fokus pada pencetakan doktor adalah bentuk lompatan kebijakan yang prematur.

Bahkan, bisa disebut pengabaian terhadap mandat konstitusional.

Lebih jauh, secara administratif, langkah intervensi pendidikan tinggi tanpa koordinasi dan kerangka kerja sama yang jelas dengan pemerintah pusat (Kemdikbudristek) dan perguruan tinggi dapat menimbulkan risiko hukum dan pemborosan anggaran.

Jika tidak dilakukan berdasarkan regulasi pembiayaan daerah seperti Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, maka skema seperti ini bisa dianggap penyalahgunaan anggaran atau setidaknya kebijakan tanpa dasar hukum yang memadai.

Bentuk pemberian bantuan atau beasiswa kepada mahasiswa S3 pun harus mengikuti skema hibah yang terverifikasi, transparan, dan auditabel.

Jika diberikan kepada individu, maka mekanisme harus tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan dan lembaga terkait seperti BPK dan BPKP, dan jika melalui lembaga, harus memenuhi persyaratan ketat sebagai penerima hibah berbadan hukum sah.

Konsekuensinya bukan sekadar administratif, tetapi juga politis dan etis. Jika dana publik dialihkan untuk membiayai level pendidikan yang bukan menjadi urusan wajib sementara pendidikan dasar masih terseok, dan angka putus sekolah menengah masih tinggi maka kebijakan ini dapat dinilai sebagai bentuk pemborosan politik dan etalase simbolik semata.

Lalu muncul pertanyaan yang lebih substansial: apa sebenarnya dasar perumusan program 100 doktor ini?

Apakah ada kebutuhan mendesak di daerah terhadap tenaga kerja berkualifikasi doktoral?

Apakah pemerintah telah memetakan bidang-bidang strategis yang benar-benar memerlukan intervensi SDM tingkat doktor?

Bila pun program ini dimaksudkan untuk mendukung eksistensi perguruan tinggi lokal, maka itu bukan menjadi kewajiban Pemkot, sebab perguruan tinggi berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau yayasan swasta.

Bahkan, program beasiswa S3 sendiri telah tersedia di berbagai skema nasional seperti LPDP, Beasiswa Dikti, dan lainnya.

Maka jika pemerintah kota ingin membantu, bentuknya mestilah pada area yang tidak ditanggung pusat misalnya bantuan sarana, penelitian kolaboratif lokal, atau penyelenggaraan diseminasi ilmiah sesuai dengan arah kebijakan yang ingin dikembangkan atau membutuhkan penelitian dari perguruan tinggi.

Dalam konteks pembangunan SDM yang terintegrasi dan strategis, langkah yang paling urgen bukanlah melompat ke strata doktor, melainkan memperkuat dulu pilar-pilar dasar: sekolah yang merata, guru yang berkualitas, dan lulusan SMA/SMK yang siap kerja.

Tanpa hal itu, program doktor bukanlah investasi jangka panjang, melainkan konsumsi politik jangka pendek. Lebih dari itu, ia bisa berubah menjadi paradoks membangun pencakar langit di atas pondasi yang retak. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *