NPM, Manado – Kompetisi pemilu dan pilkada menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik sosial kemasyarakatan selama ini.
Pihak yang kalah kerap belum sepenuhnya menerima apa yang mereka alami. Apalagi sebagian diketahui bahwa kemenangan pihak lawan tidak melalui prosedur kompetisi yang benar.
Hal itu ditegaskan Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat Ferry Daud Liando saat memberikan materi “Pemberdayaan Ormas Kepemudaan dalam mencegah Intoleransi di Kota Manado” yang digelar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Manado, Kamis (4/09/2025) di Hotel Grand Puri, Manado.
“Meski tahapan pemilu dan pilkada sudah selesai namun perbedaan masih menganga dan masih berjarak satu sama lain. Sakit hati atas kekalahan, masih sulit terlupakan sehingga ada gesekan sedikit langsung direspon dan bereaksi berlebihan,” ujarnya.
Liando, pelakunya bukan hanya oleh kelompok pendukung pihak yang kalah, namun juga kerap dilakukan oleh pihak pendukung yang jagoannya menang.
Ada pihak yang menghasut rasa kebencian antar sesama hanya karena belum move on atas hasil yang diperoleh.
Pendapat itu merespon pertanyaan salah satu peserta mengapa dalam tataran elit, semangat toleransi begitu terawat.
Namun pada tataran masyarakat ada kelompok-kelompok masyarakat yang berupaya menghasut dan terpengaruh.
Liando merinci beberapa faktor-faktor penyebab. Selain kompetisi dalam pemilu dan pilkada yang belum meredah.
Penyebab lain adalah pertama tingkat kesulitan ekonomi masyarakat akibat kebijakan-kebijakan negara yang cenderung belum berpihak.
“Masih banyak masyarakat yang belum bisa hidup secara wajar karena himpitan ekonomi. Anak-anak sulit bersekolah, pelayanan kesehatan yang belum adil, sulit mendapatkan pekerjaan dan memicu pengangguran,” papar Liando.
Sehingga, lanjut dia, dihasut sedikit langsung memicu gejolak. Kedua prilaku elit politik yang cenderung memperkaya diri baik dalam tindakan korupsi maupun kebijakan-kebijakan yang hanya memperkaya diri sendiri.
Sementara rakyat makin sulit untuk bertahan hidup. Ketiga penggunaan teknologi yang makin bebas, vulgar dan tanpa pengendalian kerap menjadi pemicu.
Belum lagi berita-berita hoax, pemicu kebencian dan adu domba begitu bebas dalam konsumsi publik lewat pemberitaan dan penayangan.
Banyak yang terhasut, terprovokasi sehingga sesama rakyat saling berhadap-hadapan. Keempat pengaruh pihak-pihak orang besar yang selama ini merasa diperlakukan secara tidak adil baik dalam keputusan hukum atupun keseimbangan dalam bisnis.
Merasa diperlakukan secara tidak adil, maka lewat pengaruh yang mereka miliki kerap menghasut rakyat kecil untuk melakukan berbagai keonaran, memancing kericuhan sampai harapan dan kepentingan mereka bisa diraih.
Kelima, kecenderungan intervensi pihak asing memungkinkan terjadi polarisasi antara masyarakat dengan elit. Kebijakan ekonomi ataupun politik yang dipilih negara belum tentu akan memuaskan semua negara lain.
Pihak-pihak asing yang merasa terancam dengan kebijakan negara bias saja berupaya menganggu stabilitas politik dan kemananan sampai akhirnya kompromi bisa terjadi.
“Kita bias belajar dari pengalaman negara lain yang hancur oleh karena intervensi pihak asing,” ujarnya.
Peserta kegiatan terdiri dari pimpinan ormas dan LSM se Kota Manado dan narasumber lain adalah Umi Sida Bachmid dan Kanwil Agama Sulut dan Asisten 1 Bidang Pemerintahan Julises Oehlers. (don)