NPM, Manado – Salah satu indikator pemilu berkualitas adalah akses publik untuk berpartisipasi secara bebas dan bertanggungjawab.
Partisipasi masyarakat bukan hanya soal sebatas pemberian suara di TPS namun juga mengambil bagian agar proses dan hasil pemilu berjalan secara jujur dan adil.
Hal itu disampaikan Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat Ferry Daud Liando ketika memberikan materi dengan topik “Partisipasi Publik untuk Mewujudkan Pemilu Bersih” yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri, di Hotel Luwansa, Manado, Selasa (6/02/2024).
“Partisipasi politik adalah bentuk kesadaran, kepedulian dan tanggungjawab setiap warga negara untuk mewujudkan pemilu berkualitas,” ujarnya.
Namun, pada kenyataannya partisipasi publik sepertinya tidak memiliki nilai-nilai substantif bagi perwujudan kualitas pemilu.
“Beberapa fenomena buruk mengenai partispasi publik pada pemilu belakangan ini,” sebut Liando.
Pertama belum semua pemilih memiliki kesadaran dan kepedulian untuk memilih caleg-caleg berkualitas untuk berkuasa.
Pilihan pemilih selalu menuntut adanya garansi. Tanpa uang, tanpa suara. Jadi uang atau imbalan lain yang menentukan pilihannya.
Kedua, partisipasi adalah sebuah kesadaran. Tidak perlu di paksa atau di mobilisasi.
Namun pada kenyataanya dalam setiap kampanye, masih banyak masyarakat yang dimobilisasi tim sukses dengan berbagai bentuk iming-iming. Seperti kaos, makan siang, hiburan artis serta uang.
Ketiga partisipasi adalah hak asasi masyarakat. Namun kemungkinan akan banyak pemilih yang akan diintimidasi.
Akan ada pihak-pihak yang berusaha memaksa pemilih untuk memilih capres, parpol atau caleg tertentu. Banyak aparatur diduga akan memanfaatkan kekuasaan dan kewenangannya untuk mengintervensi pemilih.
Ada ancaman jika pilihan tidak sejalan misalnya pencopotan jabatan atau pencoretan bansos.
Keempat kemungkinan partisipasi pemilih itu dimanipulasi dengan cara dihilangkan atau disalahgunakan.
Pengalaman pada pemilu 2019 terdapat banyak yang tidak berhak tapi memilih, mencoblos surat suara milik orang lain, mencoblos dua kali, surat suara sengaja di rusak karena keberpihakan petugas.
Mark up dan mark down suara calon, pencoblosan surat suara sisa oleh petugas, pencoblosan 5 jenis suara bagi pemilih pindahan beda kabupaten/kota dan provinsi dan berbagai bentuk kecurangan yang menodai kualitas partisipasi.
“Fenomena buruk diatas harus diperbaiki guna menghasilkan partisipasi berkualitas. Keberhasilan pemilu tidak ditentukan oleh besaran persentasi jumlah pemilih,” terangnya.
Kualitas pemilu, lanjut Liando, sangat di tentukan oleh nilai atau kualitas masing-masing suara. Jika suara yang diberikan tanpa garansi, tanpa mobilisasi, tanpa intimidasi, tanpa manipulasi maka akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri.
“Bawaslu memiliki tanggung jawab agar kualitas partisipasi masyarakat itu terlindungi dan tidak dimanipulasi,” tegas dia.
Pembicara lain anggota KPU Sulut Meidy Tinangon dan Tokoh Masyarakat Drs Philep Regar selaku mantan Dekan Fisip unsrat dan mantan ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Sulut. (*/red)