NPM, Manado – Pimpinan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) memberikan klarifikasi terkait proses pemilihan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM).
“Dapat kami jelaskan tentang Asas erga omnes tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, putusan MK bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh,” ujar Rektor Unsrat Prof Berty Sompie melalui Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr Ralfie Pinasang SH MH, Rabu (8/01/2025).
Lanjut Warek Pinasang, perlu dipahami Asas erga omnes tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, putusan MK bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
“Itu berlaku untuk materi atau substansi putusan MK tersebut. Bukan terhadap persoalan lain yang tidak ada hubungan dengan putusan MK,” tuturnya.
Terkait pemilihan Dekan FKM Unsrat, lanjut Pinasang, telah dipilih sesuai ketentuan yang berlaku yang menurut Pasal 47 ayat (1) Statuta Unsrat.
Pun telah melalui tahapan penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan dan penetapan serta pelantikan tidak ada persoalan hukum.
“Jadi putusan PTUN Manado tentang pengangkatan Dekan Fakultas Kedokteran amar putusannya menurut hukum tidak ada hubungan hukum (legal standing) dengan proses pemilihan serta pengangkatan Dekan FKM Unsrat,” jelas Pinasang.
Putusan Pengadilan yang ada tidak boleh digeneralisir dengan substansi lain, sekalipun berbicara batas usia. Hal ini tidak boleh suatu putusan mengikat dengan masalah lain.
“Kami minta publik harus diberikan informasi yang benar. Contoh apabila ada pencuri di suatu tempat tertentu misalnya di Propinsi A kemudian diputus Pengadilan 15 Tahun. Kemudian ada pencuri di Propinsi B harus mengikuti putusan di Propinsi A dan diputus 15 tahun hukum. Bukan begitu,” terangnya.
Menurut Undang-undang yang boleh dilakukan adalah judicial review atau hak uji materi adalah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan.
Kewenangan judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif, dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
Pasal 24A ayat 1 dan Pasal 24C ayat 1 diperkuat dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyatakan :
Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
“Artinya dengan adanya putusan Pengadilan yang berhubungan dengan Dekan Fakultas Kedokteran tidak ada hubungan hukum dengan pengangkatan Dekan FKM Unsrat yang harus dilakukan atau ada masyarakat merasa dirugikan”.
“Silahkan mengajukan judicial review kepada MA tentang Statuta Unsrat merubah sesuai putusan Pengadilan TUN. Bukan Putusan Pengadilan digeneralisir berlaku untuk semua persoalan. Sebab hal ini bertentangan dengan hukum yang berlaku,” tandas Warek Pinasang. (*/don)