NPM, Manado – Saat ini Indonesia cenderung sedang mengalami krisis demokrasi. Hal itu ditandai dengan proses demokrasi yang cacat, penegakan hukum yang lemah akibat politisasi dan transaksional, pelanggaran HAM serta terjadinya berbagai ketidakadilan.
Hal itu disampaikan Dosen FISIP Unsrat Ferry Daud Liando ketika menjadi narsumber pada Seminar dengan topik “Gereja dan Gejolak Zaman; Oikumen, Digitalisasi dan Masa Depan Demokrasi” yang digelar Sinode AM Gereja Protestan di Indonesia, Senin 21 Juli 2025 di Aula Pemkot Manado.
“Akibat terjadinya berbagai krisis demokrasi tersebut, Indonesia ternyata belum sampai pada titik kesejahteraan dan kemakmuran,” ujarnya.
Pada 29 April 2025 Bank Dunia atau World Bank mengumumkan bahwa masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin sebesar 60,3% atau setara denggan 171,91 juta jiwa”.
Tingginya angka kemiskinan, penyebabnya adalah tata kelola pemerintahan dan politik yang tidak terurus dengan baik.
Proses demokrasi yang buruk berdampak pada buruknya tata kelola pemerintahan.
Prilaku politik yang buruk serta proses demokrasi yang buruk menjadi lingkaran setan yang sulit terputus.
Keduanya saling mendahului dan saling berdampak satu sama lain. Proses demokrasi yang buruk dapat mencipatkan aktor politik yang korup, sebaliknya aktor politik yang tidak mapan mengakibatkan proses berdemokrasi menjadi buruk pula.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemuda Siniode GMIM Periode 2000-2005 itu bahwa Gereja seharusnya tidak hanya berhenti pada gerakan spiritual, tetapi gereja harus tampil sebagai gerakan sosial yang bisa mempengaruhi kebijakan negara dalam mewujudkan proses berdemokrasi menjadi lebih baik.
Kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa hanya dapat dicapai jika proses berdemokrasi dilakukan dengan baik.
“Proses berdemokrasi yang baik dapat dicapai apabila Aktor-aktor politik tidak menghalalkan segala cara dalam merebut kekuasaan. Berlaku adil dalam menjalankan kekuasaan dan menggunakan keukasaan untuk kepentingan manusia,” kata Ketua Bidang Politik dan Demokrasi DPP PIKI itu.
Liando yang kini menjabat Ketua Pokja Bidang Pemilu dan Demokrasi PKB Sinode GMIM itu mengakui bahwa dalam posisi tertentu gereja di Indonesia amatlah sulit untuk mempengaruhi berbagai kebijakan guna perbaikan proses berdemokrasi.
Saat ini gereja memiliki tiga kelemahan. Pertama dari segi statistik, populasinya sangatlah kecil. Sehingga tidak memiliki bergganing untuk bisa mempengaruhi.
“Sekuat apapun kita berteriak, bias tidak dianggap, karena populasi kita kecil”, katanya.
Kedua Gereja kita tidak kompak. Banyak elit gereja kita yang bentuk organisasi gereja baru. Motifnya buka karena membangun iman kekristenan tetapi karena tidak sabar belum kebagian jabatan, kalah dalam pemilihan, atau konflik internal.
Sebagian membentuk gereja untuk kepentingan ekonomi.
“Kecenderungan mengarah pada industri gereja, saling rebut domba agar kolekte banyak terkumpul,” kata Korwil IX GMKI periode 2000-2002 itu.
Ketiga, banyak anggota jemaat hanya memanfaatkan struktur gereja untuk kepentingan electoral.
“Berebut jabatan strukturtal gereja agar lebih terkenal, jejaring yang luas serta pengakuan diri sebagai aktor yang suci dan diterima oleh banyak umat”.
Ketiga jabatan gereja hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, maka keutuhan gereja terpecah-bela. Banyak gereja mengalami konflik pasca pemilu akibat beda pilihan.
Narasumber lain adalah Sekretaris Umum PGI Pdt Darwin Darmawan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Pdt Sylvana Apituley.
Sebagai moderator adalah Jeiry Sumapouw STh Ketua Komite Pemilih Indonesia. Seminar dihadiri oleh para pimpinan gereja se Sulut diantaranya Pdt Janny Rende Pelaksana Tugas Ketua BPMS GMIM, Pdt Dr Adolf Wenas, Pdt Jefry Saisab, Pnt Judy Robot SH dari BPMS GMIM, Pdt Lili Danes aktivis Komnas Perempuan. (*/don)