Sulut  

Mahkamah Tegar Tengkup

Beckham Jufian Podung. (ist)

Oleh : Beckham Jufian Podung
Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM.

Sempat muncul harapan beberapa waktu yang lalu, sekelompok hakim mengatasnamakan solidaritas hakim menuntut kenaikan gaji yang nyaris selama belasan tahun kebelakang tak kunjung naik.

Padahal, kebutuhan hidup kian mencekam, segala yang harus dibayar dengan uang serba naik. Sedangkan gaji para hakim tentu sudah pasti tidak sesuai dengan kenaikan biaya hidup. Gebrakan pun dilakukan.

Bermula dari gerakan mogok kerja, sampai berakhir di sidang bersama DPR-RI yang konon merupakan sidang satu-satunya yang menghadirkan wakil ketua dewan secara lengkap, menandakan adanya perhatian khusus dari wakil rakyat kepada para hakim.

Tak hanya itu, Presiden RI (sewaktu kejadian tersebut belum dilantik) Prabowo Subianto, turut mendengar keluhan para hakim dan memberi harapan akan kelayakan hidup hakim kedepan.

Sontak di akhir diskusi para hakim dengan Presiden Prabowo Subianto, ditutup dengan isak tangis yang mengharukan. Memang disatu sisi perlu untuk memperhatikan keadaan ekonomi bagi para hakim.

Tradisi sistem hukum kita yang berbasis Eropa Kontinental memang berdampak pada banyaknya kasus dan variasi putusan.

Model peradilan kita memang menitikberatkan kepada hakim sebagai corong undang-undang dan sebagai pemberi keadilan mutlak.

Dampaknya jelas, semakin besar peran hakim dalam memutus perkara maka semakin besar pula tugas yang harus mereka lakukan.

Mahkamah Yang tak Agung Lagi
Namun, tak lama setelah itu ramalan gaib Sebastian Pompe mengenai Mahkamah Agung sebagai institusi yang hancur (institutional collapse) kembali menjadi kenyataan.

Kasus mafia peradilan yang terungkap belum lama ini menegaskan betapa lemah institusi penegakan hukum di Indonesia. Munculnya kasus mafia peradilan kembali membuyarkan harapan akan hukum yang adil dan bersih.

Padahal hampir di setiap pengadilan diseluruh Indonesia selalu mengampanyekan narasi “zona integritas” seakan-akan ketika anda memasuki dunia pengadilan, anda sedang memasuki tempat tersuci di dunia.

Dimana, kebohongan dilarang dan penyuapan dianggap sebagai dosa besar. Rupa-rupanya kampanye “zona integritas” atau “wilayah bebas korupsi” hanyalah semacam smoke screen atau cerobong asap yang menutupi segala agenda gelap di dalamnya.

Terbongkarnya kasus mafia peradilan yang ternyata sudah berjalan sekian tahun mengindikasikan bahwa selama ini narasi zona integritas atau wilayah bebas korupsi hanyalah state in image yang realitanya sangat berbeda dalam state in practice.

Kasus tersebut juga menandakan betapa mahalnya akses kepada keadilan, sebab yang berhak mengakses keadilan hanyalah mereka yang berkemampuan secara material.

Lantas bagaimana hukum melindungi kaum marginal? Untuk siapa hukum dibuat? Pertanyaan ini layak muncul jika institusi seagung Mahkamah Agung kini tak lagi agung.

Informalitas dan Hukum
Buku State and Illegality in Indonesia karya Edward Aspinall dan Gerry Van Klinken menarik untuk disimak. Berbeda dengan karya lainnya, buku tersebut menyoroti praktik “informalitas” dan “ilegalitas” dalam berbagai sektor kehidupan dalam masyarakat Indonesia, tak terkecuali ilegalitas di dunia peradilan.

Ilegalitas ini muncul dalam bentuk praktik mafia peradilan yang digambarkan nyaris menyentuh seluruh aspek kehidupan di dunia peradilan.

Bahkan menurut Adriaan Bedner dalam disertasinya mengenai PTUN, banyak hakim di Indonesia yang menganggap suap sebagai “sedekah”.

Rupa-rupanya, dalam tradisi hukum di Indonesia, informalitas mendominasi dan menguasai praktik berhukum di negara ini. Terbongkarnya kasus mafia peradilan, sekali lagi memberi tamparan kepada kualitas hukum yang lemah di negara ini.

Ilegalitas dalam dunia hukum kelak akan sangat berbahaya.

Ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum akan berdampak pada disfungsi negara hukum. Peraih Nobel 2024 Daron Acemoglu, menjelaskan ciri negara gagal ditandai dengan korupsi yang masif.

Mahkamah Agung disebut agung sebab mengemban tugas mulia yakni mencegah negara gagal karena korupsi.

Lantas jika keagungan Mahkamah Agung hilang dengan cara apalagi kita mencegah negara gagal?. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *