NPM, Manado – Pasca pengumuman kelulusan siswa-siswi SMA dan SMK se-Sulut di 15 kabupaten/kota, pada Jumat (05/05/2023), sebagian besar sekolah mulai melakukan acara penamatan siswa.
Kendati demikian, sejumlah orangtua siswa-siswi mengeluhkan besarnya biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti acara penamatan tersebut.
Dari pantauan new posko manado, sejumlah sekolah negeri di Manado pada Sabtu (06/05/2023) telah melakukan acara penamatan siswa dengan biaya Rp 250 ribu per siswa yang dibebankan ke orangtua.
Pastinya, ini sangat memprihatinkan sekali. Pasalnya, praktek seperti ini terindikasi sebagai salah satu bentuk pungli di dunia pendidikan terutama di sekolah-sekolah negeri yang sulit diberantas.
“Kami berharap ada perhatian yang serius dari pemerintah provinsi melalui dinas pendidikan untuk bertindak tegas,” kata orangtua siswa yang enggan dipublish namanya.
“Praktek-praktek pungli semakin tumbuh subur di sekolah. Pihak dinas jangan “Tutup Mata”. Harus ada tindakan tegas bagi kepsek- kepsek sekolah negeri yang masih menerapkan praktek-praktek pungli,” tambahnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sulawesi Utara (Sulut) Meilany Limpar SH MH menegaskan dalam Pergub Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pembiayaan Pendidikan SMA, SMK dan SLB di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), jelas diatur terkait sumbangan sukarela.
Dijelaskan, sumbangan sukarela dimaksud sebagai pembiayaan pendidikan yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat serta tidak ditentukan jumlahnya.
Kemudian tidak ditentukan jangka waktunya oleh satuan pendidikan. Sebab dalam Pergub jelas diatur terkait komponen apa saja yang dapat dibiayai dengan menggunakan sumbangan sukarela tersebut.
“Jadi, kegiatan penamatan tidak termasuk dalam komponen pembiayaan dalam pergub ini sehingga permintaan uang untuk penamatan siswa tersebut tidak ada dasar hukumnya,” sebut Limpar, Sabtu (06/05/2023).
Ia menambahkan, sering terjadi pihak satuan pendidikan atau pihak sekolah yang kerap menyampaikan acara penamatan merupakan inisiatif dari para siswa.
Penyelenggaraannya pun dilaksanakan sepenuhnya oleh siswa dan sudah disepakati orang tua.
“Perlu dipahami bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah harus tunduk pada aturan-aturan yang sudah diatur, dan tidak berlaku kesepakatan”.
“Sekolah adalah area publik, bukan area private yang bisa melakukan kesepakatan antar pihak,” ungkapnya.
Dia juga mengaku prihatin kalau ada oknum-oknum guru yang terlibat dalam penerimaan uang penamatan siswa dengan jumlah tertentu. “Ini jelas masuk kategori pungutan,” tukasnya.
Kendati demikian, dirinya berharap ke depan sosialisasi terkait pergub tersebut dapat lebih ditingkatkan ke seluruh masyarakat maupun stakeholder terkait.
“Apalagi kalau masih banyak kepsek SMA, SMK yang belum paham dengan pergub tersebut. Pihak Dinas Dikda Sulut harus lebih optimal melakukan sosialisasi,” tandasnya.
Sementara itu, Kabid Pembinaan SMK Dinas Dikda Sulut Vecky Pangkerego SPd MPd menegaskan bahwa pihak dinas tidak pernah memberikan arahan kepada pihak sekolah untuk melaksanakan acara penamatan siswa dengan membebani siswa dan orangtua untuk mengumpulkan uang.
“Semua diserahkan ke sekolah, tentu mereka juga harus bertanggung jawab apabila ada masalah,” tukas kabid. (dio)