NPM, Manado – Pengamat Politik Sulawesi Utara, Ferry Daud Liando menyampaikan dua kesan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara subtansi, MK benar karena telah memberikan ruang kepada semua warga negara untuk bisa menjadi capres dan cawapres.
“Pembatasan syarat bagi capres dan cawapres sama halnya membatasi hak-hak politik warga negara,” ujarnya, Senin (16/10/2023).
“Namun dengan dilakukan penambahan frase atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu dan pilkada 2024,” tambahnya.
Jika ada anggota DPRD atau kepala daerah yang berusia di bawah 40 tahun, maka oleh MK sudah memenuhi syarat.
Di indonesia banyak kepala daerah yang dibawah usia 40 tahun, tapi berhasil sebagai pemimpin di daerahnya. Di banyak negara, banyak presiden yang terpilih dibawah 40 tahun.
Presiden Prancis Emmanuel Macron yang terpilih ketika usianya 39 tahun, atau mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang terpilih ketika usianya 37 tahun.
“Usia di bawah 40 tahun untuk menjadi capres dan cawapres tidak akan mempengaruhi kepemimpinannya karena dalam menjalankan pemerintahan akan dibantu oleh menteri, lembaga-lembaga atau badan-badan lain,” tuturnya.
Jadi tidak tepat disebut dibawah 40 tahun belum mampu menjalankan pemerintahan.
Namun disisi lain, putusan MK mengubah syarat capres dan cawapres pada saat tahapan, sangatlah tidak tepat.
Sebab mengutak atik aturan dalam UU pemilu pada saat tahapan pemilu sudah berjalan tidaklah baik bagi demokrasi.
Apalagi, kesannya mengubah norma UU pemilu pada saat tahapan tentu sarat dengan kepentingan politik.
“Tidak etis jika UU pemilu diubah saat tahapan pemilu sudah berjalan,” kata Liando.
Mengabulkan permohonan pemohon, lanjut Liando, resiko terberatnya adalah konflik atau kerusuhan. Bisa jadi, pemilunya terganggu karena berpotensi melahirkan banyak gejolak.
Harusnya putusan ini baru bisa berlaku pada pemilu 2029. “Agar tidak terkesan politis, harusnya putusan MK diterapkan 2029,” tuntasnya. (don)