NPM, Manado – Pemilu 2024 makin menunjukan kondisi yang tidak wajar. Meski apa yang dilakukan oleh sejumlah pihak tidaklah dilarang oleh undang-undang pemilu, namun apa yang praktikan itu telah melawati batas kepantasan dan kepatutan.
Hal itu dikatakan Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat Ferry Daud Liando usai menjadi narasumber dengan topik “Etika dan Integritas Pengawasan dalam Pemilihan Umum Tahun 2024”, yang digelar Bawaslu Sulut di Hotel Sentra Minahasa Utara, Senin 23 Oktober 2023.
Sejumlah kondisi diungkap Liando yang dianggapnya tidak beretika, seperti dugaan intervensi politik atas lembaga-lembaga hukum, rekrutmen capres/cawapres serta calon legislatif yang tidak melalui kaderisasi partai politik pengusung.
Kemudian ada yang saling tebar ancaman dan permusuhan antar tokoh, tim pendukung yang mengatasnamakan intelektual dalam menyerang calon-calon tertentu serta pengrusakan alat peraga sosialisasi milik bakal caleg tertentu.
“Dalam norma UU pemilu, tidak ada pasal yang melarang adanya perubahan norma ketika tahapan pemilu sudah sedang berjalan,” ujarnya.
Namun, kata Liando, sangat tidak etis jika norma UU diubah pada saat tahapan dan pengubahan. Itu sepertinya memberikan kesempatan kepada warga negara tertentu yang meski belum memenuhi syarat tapi dapat dengan mudah di revisi agar bisa memenuhi syarat.
“Bisa saja norma UU pemilu sewaktu-waktu dapat diubah. Akan tetapi, hanya pada kondisi darurat seperti bencana alam atau kurusuhan yang meluas,” ujarnya lagi.
Ferry kembali mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja melayani hak konstitusi setiap warga negara, namun jika suatu permohonan diterima harusnya pemberlakuan putusan tidak harus diterapkan ketika tahapan sudah sedang berlangsung.
“Jika MK tidak senang dicurigai berpihak, harusnya putusan tersebut baru bisa di terapkan pada pilpres 2029,” tuturnya.
Ia juga menyinggung parpol pengusung pilpres yang tidak mengakomodasi kader-kader parpol. PDIP dan PPP mengusung Mahfud MD sebagai cawapres, padahal Mahfud bukan kader 2 parpol tersebut.
Seperti halnya juga Gerindra, PAN, Golkar, dan Demokrat mengusung Gibran sebagai cawapres padahal Gibran bukan kader dari 4 parpol itu. Nasdem dan PKB mengusung Anies Baswedan padahal Anies bukan kader 2 parpol itu.
Sejatinya, fungsi utama parpol adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin melalui kaderisasi dan idiologi politik parpol. Sehingga tidaklah etis jika parpol yang mengunsung calon bukan hasil binaan parpol itu,” terang Liando.
“Saya menduga parpol itu ikut pemilu hanya ambisi berkuasa dengan motif menikmati fasilitas negara. Rakyat pasti akan ditinggal ketika mereka berkuasa,” terang dia.
Padahal proses saling rampas kekuasaan antara elit parpol di pemilu kerap mengadu domba pemilih. Rakyat dihasut dan diprovokasi. Jika ada aktor yang diserang, maka aktor-aktor itu memprovokasi pendukungnya untuk menyerang balik.
Penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan KPU harus mewaspadai fenomena ini sebab bisa saja akan menjadi korban dari kompetisi yang makin tidak sehat ini.
Penyelenggara pemilu harus tegak lurus pada aturan perundang-undangan. Meski dalam melaksnakan tahapan dan pengawasan rawan diintimadasi atau dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
“Banyak kasus yang ditangani DKPP akibat adanya penyelenggara yang tidak mengantisipasi pengaruh para kontestan,” tukasnya. (don)