NPM, Manado – Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat Ferry Daud Liando menjelaskan konsekwensi pasca putusan Mahkamah Konstitusi belum lama ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini memberi pesan menolak adanya wacana pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana usulan pemerintah.
Artinya, jika pemilu dprd dilakukan terpisah dengan pilkada, maka peluang pilkada dipilih dprd masih memungkinkan. Namun jika pilkada dan pemilu dprd dilakukan dalam hari yang sama, maka akan menutup peluang kepala daerah dipilih oleh dprd.
Putusan ini mengatur syarat parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan calon yaitu parpol atau gabungan parpol yang memiliki capaian ambang batas perolehan suara hasil pemilu.
Misalnya provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut.
Karena pemilu dprd provinsi dan pilkada dilakukan bersamaan dihari dan jam yang sama, maka syarat perolehan hasil pemilu untuk pencalonan pilkada tidak akan berlaku.
Pada pilkada yang digelar sebelum tahun 2024, syarat parpol dan gabungan parpol yang bisa mengajukan calon pilkada adalah parpol atau gabunga parpol yang memiliki kursi sebayak 20 persen dari jumlah anggota dprd hasil pemilu.
Namun pada pilkada 2024, MK memutuskan syarat perolahan jumlah kursi diganti dengan syarat jumlah perolehan suara hasil pemilu.
Hanya saja, pada pilkada di tahun 2031 kemungkinan syarat ambang batas perolehan suara juga akan hilang karena pemilu dan pillada dilakukan dihari dan jam yang sama.
Dengan demikian semua parpol peserta pemilu bisa saja mengajukan pasangam calon kepala daerah.
Jika parpol peserta pemilu terdiri dari 10 maka memungkinkan jumlah pasangan calon menjadi 10 pasang.
“Dalam poin 5 jika tahun 2029 tidak akan ada pilkada, maka akan berdampak pada kepentingan elektoral pihak incumbent,” terang Liando.
Dikatakannya lagi bahwa pada pilkada 2024 banyak terdapat incumbent tidak terpilih lagi karena adanya pengisian pejabat penjabat kepala daerah, apalagi jadwal pilkada yang di serentakkan.
Kewenangannya dalam memobilisasi pemilih dan ASN serta menetapkan kebijakan untuk keuntungan elektoral akan hilang karena tidak lagi menjabat ketika ikut kompetisi.
“Putusan mk ini otomatis batalkan wacana pemerintah soal Pilkada oleh DPRD,” tuntasnya. (don)