Sulut  

Pembajakan Pemilu oleh Parpol, Pemodal dan Unemployment

Dok/NPM

Oleh: Ferry Daud Liando

Dosen Kepemiluan Fisip Universitas Sam Ratulangi Manado.

Hasil akhir dari pemilu semestinya untuk kepentingan rakyat. Tujuan dan cita-cita bernegara adalah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur.

Untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita itu diperlukan aktor-aktor politik sebagai kreator dan sebagai eksekutor. Aktor-aktor politik itulah yang dipilih melalui pemilu.

Namun demikian, esensi pemilu saat ini telah menyimpang jauh dari yang diharapkan.

Pemilu tidak lagi sebagai sarana untuk menetapkan aktor-aktor politik yang dipercaya untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bernegara, namun telah dirampas oleh aktor yang hanya cari untung sendiri.

Biaya pemilu 2024 membengkak berkali-kali lipat, tercatat menembus Rp71,3 triliunan.

Ini angka yang bisa dikonversi dengan biaya pendidikan jutaan anak-anak miskin dan terlantar, ratusan rumah sakit dan sekolah, investasi bagi lapangan pekerjaan, serta kebutuhan sarana prasarana di kawasan timur Indonesia yang selama ini sering
dikesampingkan.

Biaya pemilu sebenarnya tidak hanya sebesar itu. Sebab terdapat lembaga-lembaga lain baik di pusat maupun di daerah juga mengajukan proposal anggaran karena keterlibatannya dalam pemilu.

Kemungkinan besar nominalnya juga masih akan bertambah karena keadaan tertentu. Tidak mustahil, angkanya bisa mencapai Rp 100 triliuan.

Namun demikian, apakah hasil pemilu 2024 memiliki relevansi dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat?

Kuasai Lembaga Negara hingga BUMN

Melihat fenomena belakangan ini, Pemilu sepertinya telah menyimpang dari tujuannya.

Pemilu sepertinya telah dibajak oleh tiga kepentingan yakni parpol, pemilik modal dan unemployment.

Masing-masing parpol saling berebut jumlah kursi. Itulah sebabnya, syarat menjadi caleg hanya ditentukan oleh kekuatan finansial serta popularitas calon.

Orang miskin ‘dilarang’ jadi caleg. Sebagian parpol saling berebut artis untuk caleg. Tidak peduli soal kapasitasnya.

Semakin banyak kursi, maka para aktivis parpol akan berpeluang menguasai kursi-kursi jabatan. Ini baik jabatan di kabinet, DPR, lembaga-lembaga negara lain, lembaga-lembaga non-departemen hingga BUMN.

Pemilu sepertinya hanya akan bermanfaat bagi elite-elite parpol serta keturunannya. Benar kata salah satu ketua umum parpol, bahwa kekuasaan itu sangat menyenangkan.

Di daerah, syarat parpol yang bisa mengusung calon kepala daerah adalah parpol yang mendapatkan kursi minimal 20% hasil pemilu. Parpol yang meraih angka ambang batas itu tentu menjadi rebutan dan sangat mahal untuk konteks setoran biaya mahar.

Bagi parpol yang tidak mencapai ambang batas 20% akan melelang atau memperjualbelikan kursinya kepada bakal calon lain atau kepada parpol lain, yang juga jumlah kursinya tidak mencukupi untuk tiket pencalonan. Maklum, UU pilkada memang memungkinan adanya penggabungan parpol agar ambang batas pencalonan parpol terpenuhi.

Transaksi Mencurigakan Rp 51 Triliun

Kemudian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi keuangan mencurigakan di dalam nama orang-orang yang tercantum dalam daftar caleg tetap (DCT) Pemilu 2024. Jumlah transaksi keuangan mencurigakan sekitar Rp 51 triliun, kata Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono dalam perbincangan dengan Pro 3 RRI, Rabu (10/01/2024). Transaksi mencurigakan perlu juga di kembangkan penelusurannya ke rekening lain, seperti rekening keluarga caleg, rekening parpol, ataupun rekening tim sukses/relawan.

Memang, peserta pemilu dalam tahapan kampanye diperbolehkan menerima sumbangan dana dari masyarakat. Namun demikian, motif pemberi sumbangan dan penggunaan sumbangan itu harus diwaspadai.

Dalam hal pemberian sumbangan, tidaklah mungkin pemberi sumbangan tidak akan menuntut kompensasi. Sementara itu, pihak yang paling sering menjadi pemberi sumbangan adalah para pemilik modal atau pebisnis. Sehingga, tidak mungkin para pebisnis ini terhindar dari kepentingan menjaga dan memperluas bisnisnya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pemberian sumbangan sepertinya juga untuk memperluas pengaruhnya dilembaga-lembaga politik. Jika para pemodal ini memiliki banyak akses di DPR/DPRD, maka akan ada kesempatan baginya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik dalam pembentukan undang-undang, penyusunan perda, lelang proyek, kemudahan perizinan, potongan retribusi, pembebasan lahan, alih fungsi lahan, dan intervensi kebijakan-kebijakan lain.

Bahkan, pihak PPATK menemukan aliran dana asing masuk ke  parpol. Aliran itu harus di telusuri motifnya. Apa kepentingan asing itu terhadap pemilu kita. Jangan sampai ada kompensasi obral perizinan pengelolaan sumber daya alam. Jika SDA dieksploitasi berlebihan, maka dampak buruknya adalah kerusakan lingkungan.

Dimanfaatkan Dapat Pekerjaan

Pemilu juga dimanfaatkan oleh kelompok pengangguran (unemployment) untuk sekedar mendapatkan pekerjaan baru. Status pengangguran yang melekat pada seseorang tentu merusak kedudukan dan status sosialnya di masyarakat.

Pengangguran yang mencari peruntungannya di pemilu sangat bervariasi. Seperti kerabat dari elite parpol atau pejabat, yang selama ini jadi pengangguran akibat sulit berkompetisi mendapatkan pekerjaan di tempat lain, mereka mencari peruntungan menjadi caleg.

Terdapat pula artis-artis yang tidak laku lagi di pasaran industri hiburan. Terdapat juga mantan-mantan pejabat pemerintah dan swasta yang belum siap jadi pengangguran pascapurnabakti.

Pengorbanan uang negara dengan membiayai pemilu Rp 100 triliun untuk memfasilitasi kepentingan tiga pihak untuk mendapatkan jabatan itu dapat saja ditolerir. Namun, tindakan untuk menghalakan segala cara untuk mendapatkan “pekerjaan bergaji tinggi” harus dihindari.

Sangatlah tidak manusiawi jika para kontestan sengaja mengadu domba rakyat dengan skenario polarisasi dan permusuhan. Pengalaman pada pemilu 2019, rakyat dibuat polarisasi besar antara kecebong melawan kampret.

Sentimen kebencian antaranak bangsa belum pulih utuh hingga sekarang. Salah ucap sedikit langsung dikriminalkan.

Namun, apa hasil akhir dari pemilu 2019 yang sangat menyeramkan itu? Kontestan yang kalah dan yang menang sama-sama berpestapora dengan nikmatnya kekuasaan, sementara rakyat korban adu domba pemilu tetap menderita, saling benci, sakit hati, bahkan sakit jiwa. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *