NPM, Manado – KPU RI telah menetapkan Daftar Calon Tetap atau DCT pada pemilu 2024.
DCT untuk DPRD Sulut tertuang dalam Keputusan KPU Sulut No. 99 Tahun 2023 Tentang Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
Dari daftar tersebut ternyata tidak semua parpol peserta pemilu berhasil mengajukan jumlah calon yang dibutuhkan di masing-masing dapil.
Jumlah kursi DPRD Sulut yang akan diperebutkan nanti sebayak 45 kursi.
Aturan menyebutkan bahwa jumlah maksimal pencalonan yaitu sebanyak kursi Anggota DPRD Sulut.
Namun masih banyak parpol yang mengajukan caleg tidak mencapai sebanyak itu. Partai Gelora hanya 9 caleg dan partai Garuda hanya 16 Caleg.
Sedangkan parpol yang mendistribusi caleg Perempuan terbanyak adalah PDIP 18 Celeg sementara Nasdem, Hanura dan Perindo mendistribusi 17 Caleg.
Sementara distribusi caleg Perempuan paling sedikit adalag Partai Gelora 9 Caleg dan Partai Garuda 16 Caleg.
“Dari DCT ini, saya pesimis bahwa pemilu 2024 akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang lebih baik dari pemilu sebelumnya,” ujar Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat, Ferry Daud Liando, Jumat, (03/11/2023).
Ferry menilai buruknya kaderisasi parpol dan potensi permainan politik uang sepertinya akan menjadi penghambat keberhasilan pemilu.
Dari hasil pengamatan di DCT banyak caleg yang tidak melalui proses pengkaderan tapi sudah dicalonkan.
Padahal fungsi kaderisasi itu penting untuk melatih kepemimpinan politik, melatih integritas serta melatih bagaimana menjadi anggota DPR atau DPRD yang benar.
“Jika caleg hanya sekedar asal comot tanpa memperhatikan kapasitas dan integritasnya, maka mustahil pemilu akan berhasil. Sebab, yang akan terpilih adalah orang-orang yang tidak cakap dalam jabatan nya,” ujarnya lagi.
Ia juga menyinggung soal fenomena banyaknya caleg impor, caleg naturalisasi dan caleg ajimumpung.
Dikatakannya, caleg impor adalah caleg yang tidak mengenal dan dikenal di daerahnya.
Amat mustahil bagi caleg yang lahir dan besar di daerah lain akan memperjuangkan kepentingan masyarakat jika kelak akan terpilih sebagai anggota DPR/DPRD.
Terkait fenomena caleg naturalisasi merupakan caleg yang berpindah-pindah parpol. Modus ini tidak tepat karena fungsi idiologi parpol tak akan memberi warna dalam perjuangan politiknya ketika terpilih.
“Modus ini terjadi karena kemungkinan besar parpol hanya dimanfaatkan untuk kepentingan mendapatkan jabatan dan keuntungan ekonomi,” tutur Liando.
Terkait dengan caleg aji mumpung, lanjut dia, merupakan fenomena munculnya kerabat-kerabat elit-elit kekuasaan dalam pencalonan.
Lagi pula, pengaruh kekuasaan sangat berdampak pada kemenangan calon.
Meski sistim rekrutmen caleg oleh parpol masih bermasalah secara politis, namun jika nama-nama caleg memiliki kualitas, kapasitas dan integritas yang baik bisa saja kondisi ini dapat dimaklumi.
Namun demikian pengalaman pada pemilu 2019 bahwa proses rekrutmen yang tidak baik menjadi pemicu adanya jual beli suara dan berbagai bentuk kejahatan agar dapat terpilih. (*/don)