Opini  

Dua Budaya Minahasa Sumakei dan Meekan Lestari di Tondano

Oleh : Bert Toar Polii

Beberapa hari yang lalu penulis pulang kampong ke Tondano untuk menghadiri pemakaman ibu penulis yang meninggal di usia 93 tahun 3 bulan dan 5 hari.

Tapi yang ingin diceriterakan bukan tentang itu, tapi dua acara yang berhubungan dengan acara kedukaan yang menurut penulis ini bagus sekali karena ini adalah kearifan local Minahasa yang terus dipertahankan.

Pertama adalah budaya sumakei dimana tergambar dengan jelas tentang tradasi mapalus atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan gotong royong.

Budaya sumakei ini sangat membantu keluarga yang berduka. Kami keluarga tidak direpotkan karena semua makanan telah tersedia sehingga selesai acara di kubur kembali ke rumah untuk santap bersama.

Selain itu semua peralatan makan sudah disediakan oleh kelompok yang mengikuti kegiatan sumakei ini.

Peserta sumakei wajib membawa makanan yang sudah ditentukan, yaitu 4 jenis boleh ikan laut biasanya cakalang, boleh telor biasanya dimasak sinerop dicampur mi atau bihun. Ada juga ikan laut atau danau dibakar, digoreng atau yang lain dan terakhir daging.

Memang dalam tradisi Minahasa makanan utama sehari-hari dan acara itu berbeda urutannya. Kalau sehari-hari itu urutannya nasi, sayur baru lauk, di acara atau pesta komposisi lauk dan sayur terputar.

Di pesta sayur atau raaren bahasa Tondano menjadi tidak wajib atau pelengkap saja.
Saking sudah mengakar kuat di masyarakat tentang budaya ini, ketika penulis posting di medsos langsung muncul komentar pasti ada sinerop dan jenis makanan yang khas untuk sumakei.

Selanjutnya budaya meekan atau keluarga dari yang berduka dating berkumpul di rumah keluarga yang berduka dan masing-masing membawa makanan untuk disantap bersama.

Kedua acara ini sempat penulis ikuti dan menimbulkan kesan yang mendalam karena saat kecil sering mengikuti acara ini.

Memang tradisi mapalus atau secara nasional di sebut gotong royong ini harus dipertahankan karena ini menjadi lambang dari : “Maesa-esaan, maleos-leosan, mangenang-genangan, malinga-lingaan, masawang-sawangan, matombo-tomboan.”

Artinya “Saling bersatu, seiya sekata (maesa-esaan), saling mengasihi dan menyayangi (maleos-leosan), saling mengingat (mangenang-genangan), saling mendengar (malinga-lingaan), saling menolong (masawang-sawangan), dan saling menopang (matombo-tomboan). Semoga generasi Minahasa selanjutnya untuk senantiasa saling memperhatikan satu dengan yang lain. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *