Oleh : Bert Toar Polii
Dahulu kala dan malah masih terasa sampai sekarang di Negara tertentu, kaum wanita menempati tempat kedua dalam masyarakat. Hal demikian tidak terjadi di tanah Minahasa.
Sejak semula cara hidup wanita Minahasa tidak pernah berdiri sendiri, berbeda dengan kaumnya di daerah lain. Di Minahasa kehidupan anak remaja baik pria maupun wanita sama keberadaannya.
Dengan demikian mereka berhak mendapat pendidikan yang sama dengan pria. Karena sederajat dengan pria maka wanita Minahasa juga terbiasa melakukan pekerjaan yang berat sehingga berakibat pada kekokohan tubuhnya serta kesehatan.
Kesan atas kesegaran dan kekuatan mental tercermin pada raut mukanya. Banyak dari mereka mempunyai bentuk badan yang bagus dan tidak jarang terdapat wanita cantik.
Cara melangkah yang ringan, warna kulit muka yang terang dengan mata terbuka- bebas bertanya serta rambut tebal merupakan ciri khas mereka.
Mereka lincah serta ramah, suara dalam bercakap-cakap wanita remaja jelas dan terang.
Pada umumnya mereka penurut. Akan tetapi mereka dapat menunjukan keinginannya yang mana tidak akan terjadi tawar menawar, dalam pertemuan apakah secara umum atau rapat demi kepentingan negeri, dimana menurut pendapatnya kaum pria bertindak kurang tegas umpamanya dalam pembagian harta (budel) atau dalam soal perbatasan maupun perang.
Sebagai contoh terjadi di Tondano tahun 1837. Suku Tondano berada dalam perselisihan dengan suku Tombulu mengenai perbatasan. Kejadian seperti ini dimana emosi dan amarah yang meluap dapat mengakibatkan peperangan.
Kaum pria Tondano berangkat menuju perbatasan negeri Tataaran-Touliang dimana orang-orang Tombulu telah hadir. Sebelum mereka tiba ditempat tujuan, mereka tersusul pekabar injil Johan Friedrich Riedel yang menjadi gembala dari Suku Tondano.
Ia berusaha meredakan suasana sambil berjanji, soal ini akan ia ajukan pada residen (saat itu JPC Cambir, residen dari tahun 1831-1842 agar diusut).
Usulan ini terjadi kemudian dimana residen bersama komisi penengah menunjuk di mana letak bata yang harus di beri tanda. Tanda tersebut berupa tanaman Tawaang (Coryline Terminales Kunth).
Walaupun Suku Tondano tidak sependapat dengan komisi penengah tersebut mereka pasrah saja. Seusai perkara ini residen yang menganggap persoalan telah selesai, pergi bermalam di Tondano sebelum kembali ke Manado.
Perkiraannya ternyata meleset, karena ia tidak memperhitungkan sifat “Wewene ne Toudano”. Mereka sama sekali tidak puas atas keputusan yang telah berlangsung di antara kaum pria mereka. Di malam hari mereka mengadakan “sumpah persekutuan” yaitu “setia antara sesame mereka untuk tidak menerima putusan tersebut”.
Malam itu juga berangkatlah mereka keperbatasan dan seluruh tumbuhan tawaang sebagai tanda batas mereka cabut.
Dini hari saat residen berada di beranda tempat ia menginap, sambil mengangkat muka ke atas terlihat olehnya di ujung tiang bendera tergantung se ikat tawaang dimana seharusnya terdapat kain bendera.
Ini adalah hasil pekerjaan wewene ne Toudano. Dengan sangat terkejut dan hati ciut, residen yang tahu diri dari perbuatan ini serta sadar akan bahaya atas dirinya langsung angkat kaki menuju rumah pekabar injil Riedel selanjutnya berangkat kembali ke tempat kediamannya di Menado.
Dalam hal beragama, kedudukan wanita Minahasa juga sangat terpandang. Tidak jarang tenaga walian (padri) berada ditangan mereka.
Lagipula, “legenda Suku Minahasa” menunjukan, ibu dari seluruh rakyat Minahasa, yaitu Lumimuut bertemu pertama kali walian wanita Karema. Disini terbukti bahwa yang berlaku pertama di bumi Malesung / Minahasa adalah kekeluargaan secara matriarchal dan berubah menjadi patriarchal kemudian setelah dua tiga generasi.
Dalam penunanian tugas keagamaan kaum wanita lebih teliti dari kaum pria. Ini di karenakan perasaan ke agamaan dalam diri mereka pada umumnya lebih dalam serta rasa terikat dengan leluhur lebih kukuh.
Dalam hal ber organisasi juga wanita Minahasa telah terbiasa sejak dulu.
Pada bula Februari 1845, Gereja tua di Tondano telah mengalami kerusakan besar akibat gempa bumi sehingga harus dibongkar. Sampai dengan awal tahun 1867 pembangunan gereja ini tertunda terus dan belum terwujud.
Pada pertengahan tahun 1867, dibawah pimpinan wanita-wanita terkemuka Tondano dibentuk Perkumpulan Wanita. Ini merupakan perkumpulan wanita pertama dengan tema memajukan kehidupan masyarakat Minahasa di mana-mana.
Tujuan utama perkumpulan ini membangkitkan tata hidup jemaah terutama perhatian akan membangun tempat beribadah di mana mereka mendorong kaum pria agar lebih banyak menebang pohon besar yang terdapat kurang lebih 6 KM dari Tondano.
Setelah kayu-kayu yang terlebih dahulu dip roses lepas dari hutan dan telah berada di jalanan umum, maka kaum wanita memberikan aba-aba pembangkit semangat untuk menariknya masuk ke Tondano.
Ratusan wanita dan gadis remaja sekitar pukul 16.00 berterika-teriak dan menyanyi memasuki Kota Tondano. Delapan puluh sampai seratus wanita sedang menarik balok besar sepanjang 28 meter terikat dengan rotan dengan konstan sambil menyanyi. Kaum pria tidak diperkenankan untuk membantu.
Akhirnya usah sendiri membangun gerja berhasil dilaksanakan dengan pengawasan pekabar injil Hessel Rooker.
Mungkin ini adalah organisasi wanita tertua di Indonesia.
Selanjutnya kita mengenal Maria Walanda Maramis yang mendirikan Pencinta Ibu Kepada Anak dan Turunanya (PIKAT) pada tahun 1817. Apa yang dilakukan Walanda Maramis jauh lebih dahulu dari RA Kartini yang baru lahir 21 April 1879.
Dari : Silsilah Keluarga Gerungan 1500-1990 oleh Boeng Dotulong. (*)